:: Resensi Artikel Gadis Batak

Resensi Artikel

Gadis Batak : Dari Sekolah Sampai Mediator Marga

Ermina Deasya Zwesty (0720005013 Kelas A)


Sumber : http://psi.ut.ac.id/

Gadis Batak pada kurun tahun 1920-1942 mendapatkan pendidikan Kolonial Belanda di Hindia belanda . Gadis intelektual Batak menjadi penghubung antara dua kelompok marga eksogamus yang patrilineal sifatnya. Menurut van Volenhoven pada tahun 1933, kebudayaan Batak terletak dalam wilayah hukum adat yang disebut difusi Alas-Gayo dan Batak (Koentjaraningrat, 1975: 90-91) karena dalam kekerabatan cenderung mempertahankan sistem yang sudah lama berlaku ketimbang pemikiran rasionalis yang baru masuk.

Menurut antropologi sejarah Sita van Bemelen yang bertajuk "Educated Toba Batak daughters as mediators in the process of elite formation (1920-1942)" (Sita van Bemelen, 1992: 135-166) melihat perkembangan gadis batak dalam dinamika perkembangan kebudayaannya pada dasawarsa kedua abad ke-20. Menurut gender, perempuan masih relatif kurang dibandingkan dengan peran laki-laki dalam perkembangan sejarah Indonesia yang sudah dilansir dalam tulisan Olwen Hufton, Natalie Zemon Davis, Sally Humphreys, Angela V. John, dan Linda Gordon (Juliet gardiner (ed.), 1988: 82-94). Masing-masing penulis itu menyoroti wanita sebagai suatu dinamika kehidupan yang bukan sekedar obyek tetapi pada sisi-sisi tertentu mereka sebagai subyek penggerak jaman.
Peranan gadis intelektual Batak sebagai mediator atas dua klan yang disatukan dalam keluarganya. Klan di Batak sekarang ini sudah mengalami evolusi yang begitu banyak, salah satu desa Kutagamber Batak Karo memiliki 16 Klan dengan 88 sub Klan (Masri Singarimbun, 1967/1974: 124).

Pada awal abad ke-20 pendidikan di batak merupakan suatu unsur penting sebagai penyebab terjadinya perubahan-perubahan mendasar kehidupan individu maupun kehidupan sosial masyarakat Nusantara. Hal ini merupakan suatu konsekuensi yang dimunculkan oleh politik Etis Hindia Belanda yang diterapkan untuk kaum pribumi. Dampak politik etis yaitu: adanya lapisan pekerja masyarakat di perkebunan, pelabuhan dan lainnya yang disebut kuli; pekerja kantor pemerintah atau perusahaan yang disebut kerani, dipandang sebagai orang terkemuka; munculnya masyarakat petani maju di daerah pedesaan. Akibat dari pola pemikiran pendidikan kolonial Barat adalah berkembangnya pendidikan di Batak, khususnya menyangkut kaum wanita, memberi pengaruh yang sangat berarti pada relasi gender, seperti menolak kawin paksa, poligami, dan menolak pewarisan hak berdasarkan garis patrilineal.

Pada tahun 1914 HIS (Hollandsch Inlandsche School) atau sekolah dasar Belanda didirikan pertama kali di Tarutung, kemudian menyusul HIS dua tahun 1920 di Narumonda dan Dolok Sanggul. Pada tahun 1927 muncul sekolah pada pendidikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau sekolah lanjutan pertama.
Pada tahun 1930 sekolah swasta mulai didirikan oleh orang Batak sendiri untuk mengisi kesenjangan yang terjadi, Di Batak sekolah bukan masalah pribadi semata, melainkan juga masalah marga. Inilah yang mendorong setiap klan memasukkan anak lelaki terbaik mereka dalam pendidikan. Menurut Sita dengan adanya relasi gender laki-laki intelektual membutuhkan istri yang intelektual pula. Kenyataan itu yang mendorong anak perempuan memilih sekolah dari pada hanya sekedar mengantar pupuk kandang ke ladang. Para lelaki intelek inilah yang menjadi juru bicara di dalam keluarga untuk menyekolahkan para anak gadisnya. Suku di Batak menginginkan kehadiran pemuda atau gadis yang berpendidikan untuk kebanggaan sekaligus dapat menyambungkan kedua suku. Menurut Sita van bemelen, Ibid.: 151 kenyataan gender bahwa wanita tetap belum sejajar dalam arti kuantitatif di Batak sampai tahun 1930-an. Menurut Sartono Kartodirdjo, gadis intelektual batak dapat direalisasikan melalui mengidentifikasi situasi serta permasalahannya, menghadapi berbagai gejala dan permasalahannya secara kritis, menginterpretasikan gejala sosio-kultural untuk memberikan maknanya dan mentransendensi realitas kekinian dan membuat proyeksi ke masa depan. Dengan menyekolahkan anak gadis menambah kesempatan untuk melakukan ikatan keluarga dengan klan yang status sosialnya sejajar untuk mempertahankan lestarinya status marga.
Asumsi dari Sita van Bemmelen terbukti bahwa ada tiga hal yang menarik dalam perkembangan pendidikan di Batak. Keluarga elit Batak memiliki peluang untuk tetap memperbaiki posisi status keluarganya dengan memberikan pendidikan pada puteri-puterinya; kedua, memberikan pendidikan pada gadis-gadis Batak bukankah merupakan suatu strategi baik jika keluarga mengharapkan ikatan pernikahan dengan keluarga yang status keluarganya tinggi; ketiga, para anak gadis dengan pendidikan mereka dapat meningkatkan dirinya, karena memperkuat posisi tawar yang lebih baik dalam keputusan memilih calon suami (Sita van Bemelen, 1992).

Dengan pendidikan, gadis Batak menjadi mediator antara dua klan di dalam ikatan keluarga . Setelah menjadi ibu atas prinsip yang diperoleh dari proses pendidikan, mereka menjadi mediator atau penengah antara dua kelompok marga. Relasi gender di Batak ditentukan oleh pendidikan yang diperoleh oleh kedua belah pihak.

0 komentar: