:: POLA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI KALANGAN KELUARGA ACEH

Negara Indonesia terdiri dari masyarakat yang sangat majemuk atau plural. Kemajemukannya di lihat dari dua sisi, secara sisi horizontal kemajemukan bangsa dapat dilihat dari perbedaan etnis, agama, bahasa daerah, geografis, adat istiadat, dan budaya dan secara vertikal.

Keluarga merupakan pusat pendidikan yang pertama dan utama bagi setiap orang. Oleh sebab itu, pusat pendidikan ini memegang peranan penting dalam pembentukan dasar-dasar (fondasi) kepribadian anak.
Sudah menjadi sunnatullah (hukum alam), anak merupakan permata hati, hiasan hidup atau penghibur hati bagi ibu bapaknya, karena itu, tidak terkecuali keluarga di kalangan masyarakat Aceh akan berupaya sekuat tenaga agar putra-putrinya selalu dapat dijadikan sebagai tambatan hati mereka.

Di samping itu, keluarga adalah sekolah tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat (kasih sayang), keharmonisan , kejujuran, dan berbagai sifat lainnya. Dalam literatur agama dikenal ungkapan al-mar’ah ‘imad al-bilad (wanita adalah tiang negara), maka pada hakikatnya dapat pula dikatakan bahwa al-usrah ‘imad al-bilad biha tahya wa biha tamut (keluarga adalah tiang negara, melalui keluargalah negara ini bangkit atau bangkrut).

Sebagai pendidikan formal, pendidikan keluarga yang terjadi di mana saja, termasuk pendidikan keluarga di kalangan masyarakat NAD, dalam kehidupan sosialnya disebut model pendidikan learning society; tugasnya adalah menciptakan kondisi dan iklim pendidikan yang sesuai menurut kehidupan sosial, sedangkan isi programnya bersifat kasuistik sesuai dengan tugas pokok keluarga, yaitu menumbuh-kembangkan kepribadian putra-putrinya menjadi manusia yang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Penciptaan kondisi dan iklim pendidikan (learning society) yang diwujudkan dalam tradisi kehidupan keluarga di kalangan masyarakat Aceh melalui aktivitas ‘ubudiyah mahdah. Berikut ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Syahadatayn: Pengucapan dua kalimah Syahadatayn (Asyhadu an la ilaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammad Rasul Allah) ini, secara ritual dan formal, telah diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Aceh pada beberapa aktivitas formal dan sakral, antara lain, ketika pelaksanaan “Peusunat” (Khitan), pelaksanaan Peusijuek (tepung tawar) dan pelaksanaan ijab qabul nikah.
Pengucapan kedua kalimah Syahadah tersebut pada kegiatan-kegiatan ritual merupakan mission statement, untuk menetapkan misi masa depan sebelum melangkah. Misi yang diikrarkan dalam bentuk syahadah itu dapat membentuk sebuah tekad dan komitmen yang bulat, berupa perjanjian yang mengikat antara seorang manusia dan Allah Sang Pencipta. Inilah sumber kekuatan dahsyat bagi orang yang beriman dan bertaqwa, dan pada gilirannya akan mendorong jiwanya untuk bergerak mencapai visinya.

Sebagai orang yang mempunyai komitmen yang tinggi tidak menjadi suatu kendala untuk berhubungan dengan berbagai pihak lain walaupun berbeda kultur, karena dengan komitmen iman dan taqwa justru tidak memandang pihak lain sebagai suatu yang berbeda, kecuali masing-masing saling berfastabiq al-khayat ke arah yang lebih baik (taqwa).

2. Shalat: Shalat merupakan ubudiyah yang paling utama bagi umat Islam, maka seorang anak di NAD dibiasakan sholat sejak berumur tujuh tahun dan dipukul bila meninggalkan sholat ketika berusia epuluh tahun. Modal pendidikan seperti ini diadopsi langsung secara tekstual pada hadist nabi Muhammad saw berikut ini : Artinya : suruhlah sholat anak-anakmu apabila telah mencapai usia tujuh tahun. Dan ketika telah berusia sepuluh tahun, maka pukullah bila meninggalkan sholat. (H.R. Tarmizi).
Masyarakat Aceh yang tidak mengerjalan ibadah shalat wajib 5 waktu sehari semalam dianggap sebagai kaplat (gelar yang sangat menjijikan di berikan kepada orang yang tidak mau atau meninggalkan shalat), sehingga mereka tidak diperkenankan untuk menyembelih hewan, kalau diketahui bahwa hewan disembelih oleh mereka yang tidak shalat, maka masyarakat Aceh tidak mahu memakannya.

Model pendidikan keluarga semacam ini dapat dikategorikan model indoktrin, dimana pendidikan berpusat pada pendidik (Teacher Centered), di satu pihak proses pendidikan semacam ini, memang dapat mewujudkan ketangguhan pribadi (personal strength) pada anak, namun belum tentu nilai-nilai shalat yang mengacau ke arah nilai multikultural akan terwujud, seperti nilai persatuan dan kesatuan, saling memperhatikan kesejahteraan bersama.
3. Zakat: Sudah menjadi kebiasaan ketika musim panen tiba, masyarakat Aceh memanggil Kechiek (kepala desa) dan Teungku Meunasah (Imam Mushalla) untuk mengambil zakat dari hasil pertanian atau perkebunannya, demikian juga bagi muzakki (pembayar zakat) ems, perak, perniagaan, hewan dan lain-lain memanggil mereka untuk mengambil zakat. Keuchiek dan Teungku Meunasah dibantu oleh para pemuda yang mengumpulkannya dan ketika ditemukan ada masyarakat yang belum membayar zakat, ditegur dan diberi nasehat supaya mereka menjadi sadar membayar zakat.

Kebiasaan kerja sama (team work) dalam pengumpulan zakat dalam masyarakat Aceh juga dilakukan ketika zakat didistribusikan kepada mustahaq (penerima zakat), dan apabila ada yang tertinggal, maka yang bersangkutan dapat meminta kepada Keuchiek atauTeungku Meunasah. Kerjasama semacam ini merupakan suatu upaya pencapaian yang jauh lebih efektif dan lebih efisien, dibandingkan dengan bekerja secara perorangan. Hampir semua orang menyadari akan arti pentingnya “team work”, yaitu akses, modal dan skill.
Akses yang dimaksudkan disini adalah hubungan atau jaringan (network) antara Keuchiek, Teungku Meunasah dan para pemuda dan pengumpulan dan pembagian zakat, demikian juga hubungan antara mustahiq dan mustahaq serta ‘amil zakat itu sendiri terjalin dengan baik (transfaransi). Modal adalah suatu bentuk kekuatan finansial (zakat) yang terkumpul melebihi dari kebutuhan mustahaq. Sedangkan skill merupakan keahlian petua adat dan ulama yang menjadikan aktivitas pembayaran, penerimaan dan pembagian zakat secara efektif dan efisien serta menjadi adat kebiasaan masyarakat Aceh.
4. Puasa: Bulan Ramadhan merupakan bulan yang sangat didambakan oleh setiap keluarga di NAD, karena tradisi menyambut bulan suci ini sungguh mengembirakan, seperti kebiasaan pulang dari rantau semua masyarakat Aceh yang berdagang keluar daerah untuk berkumpul dengan keluarga dan handai tolan (masyarakat sekitarnya) pada akhir bulan sya’ban.
Suasana bulan suci ramadhan yang indah, penuh kegembiraan seperti itu telah menjadi adat di kalangan masyarakat NAD, sehingga ibadah puasa dapat di jadikan sebagai sebuah bentuk pelatihan untuk mengendalikan suasana hati. Suasana hati bisa sangat berkuasa atas wawasan, pikiran, dan tindakan seseorang. Ketika kemarahan memuncak, suasana hati sering kali bergolak tak terkendali. Tekanan yang kian menumpuk terus membengkak hingga mencapai titik batas, dan terus menumpuk, mendekati titik kritis yang tak tertahankan. Maka persoalan kecil menjadi besar, yang besar akan semakin besar, bahkan meledak bagaikan ledakan gunung berapi yang menyemburkan laharnya ke semua penjuru tak terkendali, hanya melalui latihan dalam berpuasa akan mampu mengendalikan suasa hati semacam itu menjadi tenang.
5. Haji: Tradisi menunaikan haji pada masyarakat Aceh dahulu (beda dengan sekarang) pertama, dilakukan ketika sudah berumur 55 tahun ke atas dengan harapan ia meninggal di Mekkah, kedua, ketika mereka tidak mempunyai bebas dari hutang, ketiga, setelah putra-putrinya dikawinkan semua.

Tradisi semacam itu dilakukan dengan harapan sepulang dari haji mereka tidak lagi cinta terhadap harta (kekayaan), mereka tinggal beribadah kepada Allah SWT serta melakukan berbagai kegiatan sosial lainnya. Bahkan hampir semua haji, pada saat itu, menjadi ulama karena di samping mereka menunaikan ibadah haji juga mereka menuntut ilmu pengetahuan di sana, terutama ilmu Fiqh.

Pengalaman yang di dapat dari tanah suci (Madinah dan Mekkah), ditemukan berbagai kultur dan adat kebiasaan suku bangsa lain, terutama tentu telah menjadi pengalaman yang berguna dalam hidup kehidupan berkeluarga, bermasyarakat dan berbangsa.

Model pendidikan keluarga masyarakat Aceh diorientasikan pada firman Allah dalam surat al-Tahrim ayat 6 : Artinya : Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluagamu dari siksaan api neraka yang bahan bakarnya terdiri dari manusia dan bebatuhan …
Firman Allah tersebut mengisyaratkan bahwa tugas utama keluarga dalam masyarakat muslim adalah menjaga diri dan keluarganya dari siksaan api neraka.
Dengan demikian, model pendidikan keluarga di kalangan masyarakat Aceh adalah model integratif, yaitu menyatukan antara pendidikan tentang ritus formal ‘ubudiyah mahdah dengan pendidikan nilai kehidupan yang humaris. Dengan terinternalisasi nilai kehidupan yang humaris ke dalam diri putra-putri Aceh diharapkan akan terinternalisasi pula nilai-nilai kehidupan berbagai suku bangsa lain.
Pendidikan merupakan hak asasi bagi manusia, termasuk manusia Indonesia, maka pendidikan tidak perlu menjurus kepada uniform (keseragaman).

Sebagai salah satu pusat pendidikan, keluarga juga memegang peranan penting untuk mewujudkan manusia yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, bahkan dalam perspektif masyarakat Aceh untuk pewarisan budaya sangat tergantung pada orang tua (ayah dan ibunya). Karena itu pendidikan keluarga multikultural merupakan suatu keniscayaan di mana saja, termasuk di Aceh. Mengingat sering terjadi konflik di Nanggroe Aceh Darussalam, maka unsur-unsur pendidikan keluarga multikultural menjadi penting dikaji di kalangan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam.

Kajian terhadap pendidikan keluarga multikultural lebih di titik beratkan pada domain afektif (terkait dengan emosi senang dan tidak senang), bukan pengajaran yang lebih diutamakan pada domain kognitif dan psikomotor. Karena itu, keteladanan dan pola hubungan antara kepala keluarga dan anggota keluarga serta hubungan dengan masyarakat sekitarnya yang dijadikan fokus kajian ini. Pola hubungan terkait dengan komunikasi, baik komunikasi lisan (maqal) maupun af’al (perbuatan), komunikasi lisan melalui bahasa lisan, sementara komunikasi af’al melalui bahasa perbuatan, namun dalam hal tertentu memang bahasa lisan dapat dijadikan sebagai falsafah hidup bagi lahirnya sikap (‘amal).

Dilihata dari komunikasi bahasa lisan, unsur-unsur multikulturalisme dalam tradisi pendidikan keluarga Aceh dapat dikemukakan beberapa unsur tradisi kehidupannya; unsur hubungan dengan teman, perkampungan, desa dan komunitas, kekerabatan dan pola hubungan social
Pola dan unsur pendidkan keluarga dikalangan masyarakat Aceh yang telah diuraikan di atas adalah pola dan unsur pendidikan keluarga multikultural di kalangan masyarakat Aceh tempoe doeloe.
Untuk mewujudkan pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh semacam itu perlu di kembangkan beberapa pendekatan pendidikan keluarga, antara lain pendekatan imani, pendekatan rasional, pendekatan emosional dan pendekatan keterampilan proses.
Prosedur pendekatan imani dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh adalah pertama, transfer iman melalui ritus religius; kedua, pemahaman nilai-nilai iman melalui hadis meja Aceh, pantun, kata-kata hikma atau kata-kata mutira Aceh; ketiga, internalisasi nilai-nilai iman melalui berbagai aktifitas kehidupan; keempat, pemantapan iman dan nilai-nilainya melalui mission statement syahadatayn yang diimplementasikan dalam pola kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Prosedur pendekatan rasional dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh adalah pertama, pengarahan rasionalitas anak melalui pemberdayaan potensi dan sumber daya anak menurut tngkat pertumbuhan dan perkembangannya; kedua pengembangan rasionalitas mereka ke arah tugas kekhalifahannya di muka bumi melalui aktivitas kehidupan; ketiga, pemantapan rasionalitas mereka melalui pengembangan visi fastabiq al-khayrat (berlomba-lomba ke arah kebaikan).
Prosedur pendekatan emosional dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh adalah pertama pengarahan anak ke arah kesadaran diri (self –awareness) melalui pengenalan emosi sendiri dan efeknya, kekuatan dan batas kemampuannya, keyakinan dan harga diri; kedua, bimbingan kearah pengaturan diri (self-regulation) melalui pengelolaan emosi dan desakan hati yang merusak, pemeliharaan sifat jujur, dan penanggung jawaban atas kinerja pribadi; ketiga, pemberian motivasi melalui dorongan untuk berprestasi , penyesuaian diri dengan sasaran kelompok sosial, pemanfaatan kesempatan; keempat, pemantapan keterampilan sosial melalui komunikasi, negosiasi dan kerja sama.
Prosedur pendekatan keterampilan proses dalam pendidikan multikultural dalam masyarakat Aceh adalah pertama, pengarahan dan pemilihan teman secara selektif melalui nasehat; kedua, pembiasaan untuk membangun jaringan sosial secara harmonis; ketiga, pemantapan tata cara berkomunikasi, berdiskusi, dan bermusyawarah melalui pembentukan organisasi pemuda.

1 komentar:

Trezna mengatakan...

Tulisan ini, sangat cocok jika digabungkan dengan kirimanku.