:: PENDAYAGUNAAN ETNIS SUMATERA UTARA

TUGAS INDIVIDU

PENDAYAGUNAAN ETNIS SUMATERA UTARA DALAM MENGHADAPI GLOBALISASI
disunting dari artikel :”studi pendayagunaan etnis di sumatera utara”; oleh Abdullah, Dosen Fakultas Dakwah IAIN SU diterbitkan oleh Pusat penelitian IAIN Sumatera utaran, 2003.


OLEH
FIRMAN MENDROFA
0720005017



PASCA SARJANA TEKNOLOGI PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG


Kecanggihan media komunikasi dan alat transportasi telah menjadi faktor utama bergulirnya era globalisasi. Kemajuan tekhnologi komunikasi dan informasi seperti internet, e-mail, televisi kabel, dan telepon selular telah memungkinkan orang di seluruh dunia berkomunikasi dan melakukan sharing informasi tanpa terhalang oleh batas-batas negara, regional atau budaya. Kecanggihan yang luar biasa dari media komunikasi dan transportasi, kini terus dipercanggih dan telah membuat planet bumi yang luas ini menjadi seolah-olah sebuah desa kecil. Dunia seolah-olah menjadi a global village, tidak berbatas (borderless), dan setiap individu kemudian menjadi warga global.

Globalisasi disamping menjanjikan berbagai keuntungan, peluang dan harapan, juga menimbulkan permasalahan dan tantangan tersendiri terhadap setiap warga suku bangsa, terutama yang concerned dengan pelestarian dan penguatan nilai, norma, tradisi dan budaya lokal yang mereka miliki. Permasalahannya menjadi lebih serius karena adanya kecenderungan kuat bagi warga negara terbelakang atau sedang berkembang seperti Indonesia untuk berkiblat dan meniru gaya hidup negara maju (Barat) yang disajikan dalam berbagai media.

Keadaan seperti ini tentu saja mengharuskan kita untuk mengatur strategi dan mekanisme tertentu dengan memanfaatkan segala potensi yang ada untuk mencoba membentengi ekses yang mungkin ditimbulkan terhadap moral dan budaya lokal. Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa salah satu agen yang dapat diandalkan untuk melakukan hal ini adalah primus interpares yang ada dalam masyarakat lokal.

Masyarakat di Sumatera Utara terdiri dari berbagai etnis, baik etnis asli maupun etnis pendatang. Etnis asli di Sumatera Utara adalah Melayu, Mandailing (Tapanuli selatan), Karo, Pak-pak, Batak Toba, Nias, dan Pesisir. Masing-masing etnis memiliki adat istiadat dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai potensi untuk dikembangkan, dan dijadikan alat untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan masyarakat menghadapi persaingan yang semakin ketat pada era globalisasi. Karena itu, perlu dilakukan penelitian yang seksama untuk mengidentifikasi potensi-potensi etnis yang relevan dikembangkan pada masa yang akan datang.

Tatanan kehidupan Social, Ekonomi, dan Budaya

1. Sistem Organisasi.

Setidaknya ada lima etnis di Sumatera Utara yang memiliki sistem organisasi kemasyarakatan yang hampir sama, yaitu; etnis Pakpak, Batak Toba, Simalungun, Mandailing, dan Karo. Etnis tersebut pada mulanya hidup berkelompok-kelompok pada seuatu perkampungan dan masing-masing kelompok merupakan suatu kelompok marga atau kerabat dekat. Pemimpin kelompok biasanya orang yang pertama membuka kampung atau keturunannya.

Sistem kekerabatan pada dasarnya diatur menurut falsafah Dalihan Natolu (Batak Toba), Sulang Silima (Pakpak), Deliken Sitelu (Karo), Tolu Sahundulan, Lima Sauduran (Simalungun).

Sistem kekerabatan etnis pesisir dikenal dengan adat Sumando, yang merupakan campuran dari hukum Islam, adat Minangkabau, dan adat Batak Toba dan Mandailing.

Etnis Melayu, memiliki adat istiadat yang sangat berbeda dengan etnis lain yang ada di Sumatera Utara. Sistem kekerabatannya diatur menurut garis keturunan ayah maupun ibu. Pada etnis Melayu, tidak dikenal sistem marga, karena itu kerabat pada etnis Melayu lebih sederhana daripada etnis-etnis yang menganut sistem marga.

Etnis Nias, juga mengenal adanya marga sebagaimana yang ada pada etnis Batak. Akan tetapi, sistem kekerabatannya tidak diatur berdasarkan falsafah dalihan natolu. Kepemimpinan pada etnis Nias, dibedakan antara pemimpin pemerintahan dengan pengetua adat.

Masing-masing etnis di Sumatera Utara saat ini telah mengembangkan berbagai perkumpulan atau organisasi yang bersifat etnis atau kekeluargaan. Seperti perkumpulan semarga, kelompok arisan keluarga dan kelompok-kelompok pengajian.

2. Sistem Ekonomi

Masyarakat asli Sumatera Utara, secara garis besarnya dibedakan kepada dua kelompok, yaitu masyarakat yang mendiami daerah pantai dan masyarakat yang mendiami daerah pegunungan. Masyarakat yang mendiami daerah pantai, terutama hidup dari hasil laut, bekerja sebagai nelayan. Sedangkan masyarakat yang hidup di daerah pegunungan hidup dari hasil pertanian, bekerja sebagai petani.

Masing-masing etnis memiliki daerah tempat asal, misalnya etnis Pakpak dari kabupaten Dairi, Simalungun dari kabupaten Simalungun, Melayu dari daerah pantai timur dan seterusnya. Masing-masing daerah tersebut memiliki potensi alam yang merupakan modal dasar dalam mengembangkan ekonomi setiap daerah. Potensi alam tersebut tidak akan bermanfaat secara maksimal tanpa di dukung oleh kualitas sumber daya manusia. Dalam hal inilah, nilai-nilai budaya dari masing-masing etnis perlu diaktualkan kembali, seperti nilai gotong royong, penghormatan terhadap tokoh adat, dan lain-lain.

Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat etnis di Sumatera Utara selalu melakukan kerjasama atau gotong royong. Masing-masing etnis memiliki term atau istilah khusus yang berkaitan dengan gotong royong, yaitu: Marsialapari (Mandailing), Marsiadapari, Marsirimpa, dan Tumpak (Batak Toba), Aron (Karo), Haroan (Simalungun), Tolo-tolo, Fahalelua (Nias), Urup-urup (Pakpak), Basamo (Pesisir), dan Kerahan (Melayu). Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa masyarakat etnis di Sumatera Utara memiliki kegemaran bergotong royong.



Bentuk-Bentuk Gotong Royong pada Etnis Sumatera Utara.

Masing masing etnis Sumatera Utara menggunakan term atau istilah khusus untuk menyatakan gotong royong, dengan berbagai keragaman dan kesamaan makna dan aktifitasnya.

a. Gotong Royong Bidang Pertanian.

Gotong royong bentuk pertama ini, pada hakikatnya lahir dari kebutuhan masyarakat dalam mengerjakan lahan pertanian. Pada masa lalu masing-masing anggota masyarakat memiliki lahan pertanian yang cukup luas dan tenaga buruh tani yang terbatas, karena itu masyarakat petani mengalami kesulitan mengerjakan lahan pertaniannya secara sendiri-sendiri. Hal inilah tampaknya faktor utama yang mendorong lahirnya kelompok-kelompok kerjasama (gotong royong), seperti kelompok Aron (Karo), Marsiadapari (Batak Toba), Marsialapari (Mandailing), Urup-urup (Pakpak) dan Haroan (Simalungun).

Sekarang ini tradisi gotong royong tersebut sudah jarang dilakukan, kecuali oleh sebagian kecil masyarakat tradisional yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang belum tersentuh berbagai teknologi pertanian. Penyebab ditinggalkannya tradisi ini, terutama dikarenakan telah tersedianya banyak tenaga buruh tani, serta banyaknya anggota masyarakat yang hanya memiliki lahan sedikit dan bahkan ada yang tidak memiliki lahan pertanian. Karena itu, sebagian besar petani yang masih memiliki lahan yang lebih senang mengerjakan lahan pertaniannya dengan cara mempekerjakan orang lain (upahan), disamping menggunakan tenaga sendiri/anggota keluarga. Selain itu, dengan munculnya berbagai teknologi baru bidang pertanian, seperti traktor, dan alat perontok padi dan sejenisnya juga mendorong ditinggalkannya model gotong royong dalam mengerjakan berbagai aktivitas pertanian.

Pada masyarakat etnis Melayu, Pesisir dan Nias, tidak ditemukan bentuk kerjasama seperti yang dikemukakan di atas. Kerjasama yang terjadi dalam mengerjakan lahan pertanian, lebih bersifat tolong menolong. Sebagai contoh, berikut ini dikemukakan kasus pada masyarakat Nias.

Masyarakat Nias yang hidup dari pertanian sawah juga tidak memiliki tradisi gotong royong. Umumnya mereka berupaya mengerjakan sendiri sawahnya, namun bilamana pada saat tertentu dirasa tidak mungkin dikerjakan sendiri, maka mereka meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan secara suka rela. Biasanya orang-orang yang diminta pertolongannya adalah orang dekat seperti keluarganya dan orang lain yang biasa bekerja bersawah untuk bersama-sama mengerjakan sawah atau obato. Tradisi ini disebut dengan tolo-tolo (tolong-menolong).

Demikian pula halnya di kalangan petani etnis pesisir dan Melayu, juga ditemukan adanya gotong royong dalam mengerjakan lahan pertanian, akan tetapi bentuknya tidak seperti model aron dan sejenisnya. Dalam hal ini, tiga etnis yang terakhir tidak memiliki term khusus untuk menyatakan bentuk gotong royong bidang pertanian ini. Term atau istilah yang digunakan bersifat umum, yaitu tolong menolong dalam semua urusan. Etnis Nias menyebutnya Tolo-tolo atau fahalelua, etnis Pesisir menyebutnya Basamo, dan etnis Melayu menggunakan istilah Kerahan.

b. Gotong Royong pada Acara Pesta.

Berbeda halnya dengan bentuk gotong royong yang pertama di atas, gotong royong bentuk kedua ini pada dasarnya adalah upaya tolong menolong antara sesama anggota masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pesta, seperti pesta perkawinan, pesta sunatan, kenduri, dan juga pada upacara kematian. Gotong royong bentuk kedua ini terdapat pada delapan etnis yang ada di Sumatera Utara. Bentuk tolong menolong tersebut bisa berupa bantuan materil seperti beras, kelapa, uang, dan sejenis ternak, tetapi bisa juga dalam bentuk tenaga atau fasilitas. Orang Batak Toba menyebut tradisi ini dengan tumpak. Secara formal tidak ada kesepakatan dalam kegiatan saling-menolong ini, sehingga bantuan yang diberikan ini tidak menjadi hutang bagi yang menerima bantuan. Namun dilihat dari tata aturan adat, seseorang yang menerima bantuan dari orang lain akan melakukan hal yang sama bila orang lain melakukan pesta adat.

Bentuk gotong royong yang kedua ini, ternyata masih tetap dilakukan oleh masyarakat seluruh etnis di Sumatera Utara, baik yang tinggal di pedesaan maupun yang tinggal di daerah kota. Kecuali suku Batak Toba yang masih konsisten dengan tumpaknya, pelaksanakan sistem tolong-menolong di kota-kota sudah mengalami modifikasi.

c. Gotong Royong dalam Membangun Fasilitas Umum.

Masing-masing etnis di Sumatera Utara, juga memiliki tradisi gotong royong untuk menyelesaikan pekerjaan yang manfaatnya untuk kepentingan masyarakat luas, seperti memperbaiki irigasi, membangun jalan, jembatan, dan sarana ibadah.

Misalnya, pada masyarakat etnis Batak Toba dikenal istilah marsirimpa (berarti bekerja serempak), yaitu memberikan bantuan umum kepada seseorang yang sedang menghadapi pekerjaan besar, seperti membangun rumah, atau bantuan umum untuk menyelesaikan pekerjaan yang manfaatnya untuk dinikmati secara bersama-sama, seperti memperbaiki irigasi dan membangun jalan.

Demikian pula halnya dengan etnis lain, seperti etnis Nias menyebutnya Tolo-tolo atau fahalelua, etnis Pesisir menyebutnya Basamo, dan etnis Melayu menggunakan istilah Kerahan, untuk menyatakan gotong royong dalam berbagai bidang kehidupan termasuk berbagai sarana untuk kepentingan umum.



Nilai Kekerabatan

Kekerabatan termasuk gejala universal yang selalu dijumpai dalam masyarakat manusia. Namun demikian, sifat kekerabatan itu sangat beragam karena fungsi dan manfaatnya yang berbeda bagi setiap etnis atau suku bangsa.

Pada umumnya etnis tersebut tidak hanya menempatkan sistem kekerabatan itu sebagai ikatan sosial antar individu, melainkan lebih dari itu kekerabatan adalah ikatan sosial antar marga atau antar komunitas. Kekerabatan yang tercipta atas dasar afinitas (perkawinan) dan konsaguinitas (hubungan darah atau genetik), bagi etnis-etnis yang ada di propinsi ini menembus batas-batas tertorial dan kesukuan sehingga membentuk jaringan yang cukup luas dan kompleks.

Di Sumatera Utara terdapat sejumlah variasi tipe kekerabatan yang dianut oleh masyarakat. Namun bila dianalisis lebih dalam, sistem kekerabatan yang ada di daerah ini terbagi pada dua tipe, yaitu keluarga luas (extended) dan persekutuan kelompok berdasarkan keturunan dan perkawinan. Jadi di sini tidak ditemukan sistem kekerabatan terbatas, seperti pada masyarakat industrial modern, yang hanya terbatas pada keluarga batih (nuclear family) saja, namun kelurarga batih itu tetap eksis dan berdiri kokoh sebagai dasar untuk terbentuknya keluaraga luas dan persekutuan kelompok yang meliputi sejumlah klan atau marga-marga.

Umumnya sistem kekerabatan pada etnis yang termasuk rumpun Batak menganut tipe kekerabatan persekutuan kelompok keturunan. Banyak istilah yang digunakan etnis Batak yang menggambarkan hubungan sosial dalam sistem persekutuan kelompok itu, antara lain; dalihan natolu (Batak Toba, Batak Angkola, Mandailing), daliken sitelu (Karo), Sulang Silima (Pakpak), dan tolu sahundulan lima saodoraan (Simalungun). Pada umumnya istilah-istilah tersebut menggambarkan suatu pengelompokan sosial di dalam masyarakat yang sengaja digunakan untuk mengetahui fungsi-fungsi sosial dari setiap komunitas dalam berhubungan antara satu sama lain. Pengelompokan masyarakat yang dianut dalam masing-masing sub-etnis Batak ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

Term dalihan natolu yang digunakan oleh etnis Batak Toba, Batak Angkola, dan Mandailing, serta daliken si telu bagi etnis Karo pada dasarnya memiliki makna etimologis yang sama, yaitu tiga buah tungku (biasanya dari batu) yang menjadi landasan atau tempat untuk meletakkan periuk ketika memasak nasi atau lainnya. Secara terminologis, istilah dalihan natolu atau daliken sitelu diartikan sebagai sistem kekerabatan yang terdiri dari tiga kelompok masyarakat yang saling berhubungan secara fungsional. Ketiga kelompok masyarakat itu adalah; 1) Saudara-saudara laki-laki semarga (own descent group), 2) Marga yang mengawini gadis (wife-receiving party), dan 3) Marga yang gadis mereka dikawini (wife-giving party). Di kalangan Batak Toba, tiga kelompok sosial itu disebut dongan sabutuha, boru, dan hula-hula, pada suku Batak Angkola dan Mandailing disebut Kahanggi, anak boru, dan mora, sedangkan pada suku Karo disebut, Sembuyak/Senina, Anak Beru, dan Kalimbubu.

Term Sulang Silima pada suku Pakpak adalah yaitu: 1) Perisang-isang (pembuat acara, atau suhut dalam istilah Batak Toba dan Angkola), 2) pertulan tengah (saudara tengah), 3) perekur-ekur (saudara bungsu), 4) perbetekan/beru, dan 5) punca niadep.

Term Tolu Sahundulan Lima Saodoraan pada suku Simalungun secara etimologis berarti tiga satu kedudukan lima sebarisan. Term ini timbul karena masyarakat tradisional Simalungun mempunyai lima tungku untuk menanak nasi. Oleh sebab itu kalau menanak nasi secara sempurna, terutama kalau nasi yang akan dimasak banyak, harus menggunakan lima tungku.

Lima tungku yang terangkum dalam lima unsur kekerabatan adalah: 1) Tondong yaitu pihak mertua (pemberi anak gadis); 2) Boru yaitu pihak pengambil anak gadis; 3) Sanina: mengandung pengertian golongan semarga dengan seseorang; 4) Tondong ni tondong ialah pihak besan; 5) Boru ni boru atau boru mintori yaitu pihak anak gadis dari pengambil anak gadis.

Berbeda dari sistem kekerabatan etnis Batak yang disebut di atas, sistem hubungan-hubungan sosial pada etnis Melayu dapat dilihat dari sistem stratatifikasi masyarakat. Sebagai komunitas-komunitas yang terikat dengan sistem kerajaan, etnis Melayu termasuk etnis yang mengedepankan pelapisan sosial berdasarkan gelar sesuai status sosial yang dimiliki seseorang. Gelar-gelar itu adalah; 1) Sultan, sebagai penguasa tradisonal; keturunannya digelar sebagai tengku, 2) Wan, yaitu keturunan tengku yang melakukan perkawinan dengan rakyat biasa, dan keturunannya ada yang disebut Orangkaya (OK), 3) Dato’, yaitu orang-orang yang diberi gelar oleh Sultan karena dipandang berjasa terhadap kerajaan. Keturunan Dato’ ini dipanggil dengan Encik, dan 4) terakhir tentu ada rakyat biasa (tapa gelar).
Karena sistem sosial berkaitan dengan gelar, tampaknya sistem kekerabatan etnis Melayu cenderung menjaga status ini. Sistem perkawinan yang diterapkan –tidak seperti orang Batak tradisonal yang bersifat exogami, melainkan lebih sering bersifat indogami, hal mana terjadi karena keinginan untuk menjaga gelar-gelar yang dimiliki. Jadi kekerabatan yang tercipta menjadi terbatas pada sanak-saudara (kindreds) yang terbentuk atas dasar kesamaan gelar (agnata, genetis) dan perkawinan (affina). Namun demikian, etnis Melayu masih exetended family yang ditandai dengan usaha mempertahankan hubungan dengan keturunan kerabat jauh yang dibangun pada masa lalu. Sistem kekerabatan; dalam memelihara kekerabatan sangat memperhatikan garis keturunan sampai lima generasi ke atas dan empat generasi ke bawah. Lima keturunan ke atas adalah orang tua, nenek (atok), onyang, datu dan niri. Sedangkan empat keturunan ke bawah adalah anak, cucu, cicit dan piut.

Etnis Nias, sekalipun melestarikan marga –seperti halnya orang Batak, cenderung membangun sistem kekerabatan terbatas (sampai pada keluarga luas, extended family). Memang secara tradisional, seperti pada hampir semua suku di Sumatera Utara, suku Nias memiliki mado (marga-marga) mengikuti garis ayah (patrilineal), akan tetapi dalam prakteknya, peran dan fungsi mado pada masyarakat Nias tidak persis sama dengan marga seperti dalam etnis Batak. Perbedaan antara keduanya setidaknya terlihat dalam hubungan antara individu dengan marga yang sama pada masyarakat Batak jauh lebih kuat dan dekat dari pada antara individu dengan mado yang sama pada suku Nias. Orang semarga dalam suku Batak dianggap kerabat dekat (dongan sabutuha), sementara orang Nias menganggap orang semado hanya berkedudukan sebagai teman. Ini mungkin karena, seperti dikatakan oleh Segawa, "… people with the same mado yet living in far away villages do not maitain the kinship tie, or they do not consider each other as members of one mado (orang yang memiliki mado yang sama tetapi bermukim di desa yang berjauhan tidak memelihara ikatan persaudaraan, atau mereka tidak saling menganggap sebagai anggota mado yang sama).

Dapat disimpulkan bahwa sistem kekerabatan yang diterapkan oleh etnis Nias dalam setiap kegiatan kekeluargaan lebih didasari oleh keturunan langsung yang mana hanya ayah, ibu, saudara kandung dan kerabat dekat seperti paman (istilahnya mbamboto) –lah yang berperan menyelesaikan kegiatan tersebut.



Fungsi Kekerabatan bagi Berbagai Etnis

Pada hakikatnya sistem sosial yang dianut oleh sub-sub etnis di atas adalah prinsip sosial yang menjelaskan hubungan antara marga-marga, baik antar marga dalam satu kampung ataupun antar marga dalam satu wilayah yang lebih luas (antar kampung). Dasar hubungan itu adalah faktor darah/genetika (agnata) dan perkawinan (affina) yang berlangsung antarmarga. Atas dasar hubungan agnata dan affina itu terbentuklah sistem tutur (partuturon). Di sini terlihat betapa pentingnya silsilah (tarombo) yang dapat mengungkap sejarah terbentuknya sistem kekerabatan dan jenis-jenis partuturon antara marga-marga.

Dalam sistem sosial suku-suku Batak, pengelompokan sosial berdasarkan fungsinya memiliki nilai filosofi yang cukup penting, antara lain dalam; 1) menentukan kedudukan, hak dan kewajiban seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat; 2) mengatur dan mengendalikan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam kehidupan adat bermasyarakat; dan 3) menjadi dasar untuk bermusyawarah dan mufakat masyarakat Batak.

Fungsi lainnya dari sistem kekerabatan itu adalah menentukan hubungan kekerabatan antara satu orang dengan lainnya, sehingga dapat ditentukan tutur sapa (partuturon). Misalnya pihak kahanggi, dongan tubu akan menyapa pihak mora/hula-hula dengan "tulang", "inang tulang" ompung/bao dan sebagainya. Pihak kahanggi akan menyapa pihak menantunya dengan bere, lae, amang boru, inang boru dan sebagainya. Tutur sapa selanjutnya diatas menurut usia dan jenis kelamin yang akan disapa.


Nilai kekerabatan dalam konteks globalisasi

Satu hal yang segera dapat dipahami dari sistem kekerabatan yang terdapat sistem budaya etnis yang ada di Sumatera Utara adalah adanya sistem jaringan antarindividual dan antar kelompok yang amat rapi. Hubungan partuturon yang terajut dengan apik dan rapi pada setiap etnis telah membentuk jaringan yang saling berkait satu sama lain. Jaringan itu amat rumit, sehingga tidak satu komunitas pun yang terisolasi atau lepas dari pusat sosial. Sistem kekerabatan itu bagaikan sarang labah-labah, di mana setiap komunitas sosial yang berada pada bagian pinggir sekalipun tetap memiliki hubungan yang dekat dengan komunitas yang ada di bagian sentral. Jaringan kekerabatan seperti itu masih terpelihara dengan baik pada semua etnis asli penduduk Sumatera Utara, baik di lingkungan Batak Toba, Angkola, Madailing, Simalungun, Pakpak, dan Karo, maupun di lingkungan Melayu, Nias dan Pesisir.

Dibandingkan dengan sistem kekerabatan suku-suku bangsa di Barat atau Amerika, sistem kekerabatan yang dianut oleh etnis-etnis yang ada di Sumatera Utara dinilai sangat unik dan istimewa. Jika kekerabatan masyarakat Barat telah luluh dan berantakan disebabkan oleh menguatnya paham individualisme, sehingga hampir tidak ditemukan lagi jaringan sosial yang kuat antar kelompok marga atas dasar agnata dan affina (kecuali dalam lingkup terbatas), maka kekerabatan masyarakat etnis di Sumatera Utara masih menggambarkan suatu jaringan solidaritas dengan deretan yang cukup panjang. Mungkin orang Barat hanya dekat dengan ayah, ibu, mertua atau ipar saja, tetapi tidak demikian halnya bagi orang-orang asli Sumatera Utara yang sampai sekarang masih menjalin hubungan yang erat secara emosional dengan keturunan dari marga agnata atau affina yang terbangun pada lima atau enam generasi yang lalu.

Banyak orang menggambarkan era globalisasi itu sebagai zaman yang ditandai dengan sistem jaringan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan ideologis yang kuat serta sebagai zaman di mana pembagian kerja berlangsung ketat berdasarkan keahlian, maka sebenarnya bukanlah sesuatu yang sulit bagi suku-suku bangsa yang ada di Sumatera Utara karena mereka telah terbiasa dengan sistem jaringan kekerabatan yang luas dan rumit serta tetap konsisten menjalankan tugas sesuai dengan fungsi sosialnya, seperti yang diatur dalam adat Dalihan Natolu.

Lebih dari sekedar kekerabatan yang hanya terbatas pada hubungan darah dan perkawinan, kesadaran etnisitas dan keagamaan merupakan faktor lain yang amat penting bagi suku-suku bangsa ada di Sumatera Utara untuk membangun jaringan global. Hubungan-hubungan emosional yang kuat serta lembaga-lembaga kebudayaan yang menghubungkan antara suku bangsa Melayu yang terdapat di berbagai kawasan dan berbagai negara, tentu dapat dijadikan sebagai modal permulaan untuk menciptakan hubungan yang lebih rasional dan saling menguntungkan. Demikian juga hubungan emosional yang masih kuat antara etnis Batak yang Kristen dengan suku-suku yang beragama yang sama di berbagai kawasan dunia, khususnya di negara-negara berkembang, sudah barang tentu dapat diperkuat dengan hubungan-hubungan bersifat ekonomis. Ini berarti, bahwa kesadaran etnisitas dan keagamaan tidak dapat dinilai sebagai pertanda dari kecenderungan ekslusif, melainkan sebagai landasan yang penting untuk menciptakan jaringan yang lebih luas.



Wujud jaringan etnisitas pada era globalisasi

Penjelasan di atas memberikan suatu gambaran yang tegas bahwa kesadaran etnisitas tidak dapat dipandang sebagai faktor pemicu timbulnya praktek rasialisme dan pertentangan antarkelas di dalam masyarakat. Karena menguatnya tuntutan globalisasi untuk memiliki jaringan yang luas, kesadaran etnisitas pun telah mengalami pergeseran yang signifikan. Bila pada masa lalu keragaman etnis dijadikan sebagai dasar pengkotak-kotakan kelompok sosial dan dasar untuk mengukur status sosial, maka pada era globalisasi semakin disadari bahwa keragaman etnis itu harus dijadikan sebagai dasar untuk menjalin kerja sama yang solid antara satu sama lain. Jadi sebenarnya era globalisasi yang muncul sekarang ini telah mengingatkan semua orang untuk mempraktekkan penjelasan al-Qur`ân S. al-Hujrât, 13: "Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal (satu sama lain). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah yang paling taqwa". Dengan demikian, era baru yang disebut globalisasi itu adalah peluang berharga bagi suku-suku bangsa yang masih mempertahankan akar budayanya untuk membangun hubungan-hubungan yang lebih bermanfaat.

Tentu saja ada satu hal yang penting disadari oleh anggota etnis ketika nilai sistem kekerabatan tradisonal ingin ditransfer ke dalam sistem jaringan sosial-ekonomi pada era globalisasi, yaitu bahwa sistem jaringan itu tidak memadai lagi semata-mata didasarkan pada hubungan darah dan perkawinan melainkan harus disertai keahlian-keahlian tertentu. Mereka yang memiliki keunggulan komparatif lah yang kelak mampu memperluas jaringan secara global. Karena itu sebuah jaringan kekerabatan atas dasar kesadaran etnisitas tidak akan berarti apa-apa bila tidak disertai dengan kemampuan-kemampuan kompetitif yang memungkinkan terjalinnya kerjasama antarindividu atau antarkelompok dari berbagai kawasan dan negara. Inilah tantangan terberat bagi anggota-anggota etnis yang ada di Sumatera Utara.

Gejala untuk membangun jaringan yang lebih luas dan dikelola dengan manajemen modern telah mulai terlihat di kalangan anggota berbagai etnis yang ada di Sumatera Utara. Gejala itu tertangkap dari suburnya pertumbuhan dan perkembangan organisasi kekerabatan (OK) di perkotaan. Organisasi-organisasi kekerabatan serupa sangat strategis untuk dijadikan sebagai basis untuk membangun jaringan antar kelompok, baik antar OK sekota, antar OK dari berbagai kota, antar OK dengan daerah asal, antar OK dari berbagai etnis, dan antar OK dengan lembaga-lembaga profesional di dalam maupun luar negeri.

Lebih bila diperhatikan perkembangan kontemporer tentang etnis-etnis yang ada dunia barat, maka ternyata ada gejala baru yang muncul di luar sistem-sistem modern. Studi-studi antropologis menunjukkan betapa etnisitas telah dipergunakan (dalam artikulasi organisasi) secara fungsional oleh kelompok-kelompok kepentingan tertentu, tetapi di balik gejala itu ternyata muncul kelompok-kelompok etnis dengan label-label primordial untuk mengorganisasi diri baik bidang agama, sosial, maupun perdagangan. Perkumpulan sosial dan perdagangan Jahudi di New York yang cukup berpengaruh, adalah satu contoh betapa pentingnya peranan organisasi etnis ini di era globalisasi sekarang.

Pada tahun 1959, di kota London terdapat lebih dari 20 kelompok etnis yang bergerak di bidang perdagangan dan ekonomi. Sebagaian dari kelompok ini membuat jaringan yang rapi dan melakukan sirkulasi uang secara intens di luar prosedur-prosedur sistem bank. Perdagangan uang ini berlangsung dalam lingkaran orang-orang yang saling mengenal dan saling mempercayai. Tingkat kepercayaan yang tinggi di antara sesama anggota kelompok ini ternyata muncul dari kesamaan bahasa dan dialek yang dipakai, serta penghargaan terhadap norma-norma tertentu. Walaupun dinilai ekslusif, ternyata anggota kelompok ini terus bertambah, karena mereka selalu berusaha merekrut anggota baru dari kelompok etnisnya.

Langkah menuju terciptanya jaringan saling menguntungkan, seperti digambarkan di atas, memang masih panjang. Paling tidak ada beberapa hal yang perlu dibenahi agar harapan itu dapat terwujud;

Pembinaan sumber daya manusia (SDM): Pembinaan SDM ini harus diarahkan pada pembekalan profesionalisme yang kompetitif. Sebenarnya usaha ke arah itu tidak perlu dipikirkan hal-hal besar di luar jangkauan, cukup dengan pencetakan kader-kader etnis pada bidang-bidang khusus dan spesifik, seperti ahli perdagangan, ahli manajemen, ahli teknologi komunikai (khususnya komputer), dan sejenisnya.

Peningkatan mutu produk unggulan lokal agar memiliki daya saing dengan produk-produk sejenis lainnya.

Penguatan lembaga-lembaga etnis, seperti organisasi kekerabatan, agar dapat dijadikan sebagai media penghubung antar kawasan, serta secara internal mampu membina kader-kader profesional dari kalangan etnisnya sendiri. Untuk maksud tersebut diperlukan perubahan orientasi dan sistem manajemen organisasi.

Pemanfaatan media promosi seluas-luasnya, sehingga seriap keunggulan lokal, baik SDM maupun produk, dapat dikenal oleh masyarakat internasional di manapun mereka berada. Karena itu, bila memungkinkan setiap etnis perlu memiliki media komunikasi yang memiliki jangkauan yang luas.



Pendayagunaan Tokoh Panutan

Pada bagian ini, dicoba mengidentifikasi tokoh-tokoh panutan yang dimiliki oleh masing-masing etnis yang ada di Sumatera utara, menjelaskan fungsi dan peran yang mereka lakukan, memprediksikan kebermaknaan mereka pada era globalisasi, lalu kemudian menyajikan format keberadaan para tokoh panutan tersebut di era globalisasi ini.

1. Terminologi lokal tentang tokoh panutan

Secara umum, berdasarkan temuan penelitian ini, tokoh panutan yang dimaksudkan di sini dapat diklasifikasikan kedalam empat kategori yaitu pemuka agama, pemuka adat, pemuka pemerintahan dan kaum bangsawan. Harus dicatat bahwa pertama, tidak semua etnis yang ada memiliki ke-empat kategori ini; dan kedua, pada etnis tertentu klasifikasi ini bisa tumpang tindih (overlapping). Seorang tokoh panutan pada etnis tertentu bisa sekaligus termasuk kedalam lebih dari satu klasifikasi tersebut.

Masing-masing etnis yang ada di Sumatera Utara memiliki terminologi yang berbeda mengenai seseorang yang dianggap sebagai tokoh di dalam komunitasnya. Etnis Melayu mengenal istilah Ato’ dan Raja; etnis Nias memiliki Ere, Sotanö, Salawa/si’ulu, Balö Zi’ulu, Si’Ulu Sito’ölö, Si’ila; etnis Karo mengenal konsep Kalimbubu; dalam etnis Simalungun ada term Anak Boru dan Lima Saodoran; etnis Pakpak memiliki Kula-kula dan Sulang Silima; etnis Angkola dan Mandailing mengenal istilah Raja Pamusuk dan namora natoras; dan etnis Batak Toba memiliki Hula-hula, Raja (Harajaon), Sintua dan Datu.

2. Peran primus interpares dalam masyarakat tradisional

Secara keseluruhan setidaknya ada tiga peran utama yang dimainkan oleh para tokoh tradisional ini:

a. Sebagai anggota badan legislatif, eksekutif dan judikatif. Para tokoh seperti Tuhenöri pada etnis Nias atau harajaon pada etnis Batak Toba berfungsi menyusun, menetapkan dan mengimplementasikan hukum yang berlaku pada wilayahnya, dan ini mencakup hukum perkawinan, hukuman terhadap pelanggaran tertentu, dan sebagainya.

b. Sebagai penyedia pengobatan alternatif. Sebelum dunia medis berkembang dan menyentuh lapisan masyarakat tradisional, hampir setiap penyakit yang diderita oleh seseorang dianggap bernuansa magis dan mistis. Penyakit dikonsepsikan sebagai karma, kutukan, atau kemarahan dari begu atau roh penunggu objek tertentu karena kesalahan yang dilakukan oleh seseorang. Dalam kasus seperti ini, seorang datu (pada etnis Batak), tabib (pada etnis Melayu dan Pesisir), atau ere (pada etnis Nias) akan menjadi rujukan untuk mencari pengobatan.

c. Sebagai pemangku, pemelihara dan pemimpin upacara dan seremonial adat. Kehidupan masyarakat tradisional diwarnai oleh berbagai seremonial adat berkaitan dengan event-event dalam siklus kehidupan mulai dari perkawinan, kelahiran, dan kematian. Disamping itu ada juga berbagai seremonial berkaitan dengan event tertentu seperti pembukaan lahan pertanian, mulai bercocok tanam, memanen hasil sawah, memasuki rumah baru, dan sebagainya. Pelaksanaan berbagai ritual dan seremonial ini dipimpin oleh seseorang yang telah mendapat pengakuan dari anggota masyarakat sebagai tokoh adat. Dalam masyarakat Nias tokoh ini disebut Salawa Hada, dalam etnis Mandailing disebut Raja Pamusuk dan namora natoras, atau Raja dalam etnis Batak Toba.

d. Sebagai tokoh agama, penasehat spiritual dan moral. Seorang yang disebut Ere adalah imam dalam pelaksanaan ritual keagamaan dalam kepercayaan kuno masyarakat Nias, dan dengan pengetahuannya pada hal-hal yang bersifat magic dan supranatural, tokoh ini juga sering menjadi referensi bagi anggota masyarakat yang membutuhkan nasehat spiritual. Sementara itu, Si’ila yang berasal dari golongan masyarakat awam tetapi memiliki kelebihan dalam wawasan dan pengetahuan dijadikan sebagai penasehat dalam menjalankan roda pemerintahan dalam masyarakat Nias tradisional. Pada etnis Batak Toba juga ditemukan istilah Sintua dan Hula-hula untuk peran yang sama.

Masyarakat etnis Melayu mengenal seorang Atok sebagai pembimbing moral dan sumber nasehat spiritual. Atok menjadi sumber rujukan utama sebelum segala sesuatu menjadi keputusan dalam masalah kehidupan keluarga/rumah tangga. Oleh karena itu, Atok dalam keluarga masyarakat Melayu sangat dihormati dan selalu mendapat tempat dan perhatian di hati anak-anak dan cucunya.

Dalam sejarah panjang perjalanan masyarakat etnis Sumatera Utara ditemukan sejumlah perubahan yang signifikan di bidang sosial, budaya dan ekonomi. Disengaja atau tidak, dalam keterpaksaan atau suka rela telah banyak tradisi etnis yang mengadopsi nilai-nilai baru yang muncul sebagai akibat kemajuan di bidang teknologi dan organisasi, dan akibatnya tidak sedikit tradisi dan nilai-nilai budaya yang memudar dan bahkan ditinggalkan karena dipandang tidak relevan lagi. Tetapi tentu saja tidak semua nilai baru yang diadopsi itu baik, seperti halnya tidak semua tradisi atau nilai-nilai budaya yang memudar itu sesuatu yang ketinggalan zaman. Semua perubahan tersebut, jika didalami lebih serius, ternyata akan mengundang sejumlah besar permasalahan bagi masyarakat etnis itu sendiri.

Satu hal yang perlu dicatat dari penjalanan sejarah ini adalah bahwa komunitas-komunitas etnis selalu tertinggal beberapa langkah dari pekembangan zaman. Memang harus diakui bahwa telah terjadi proses pewarisan nilai-nilai sistem sosial dan budaya etnis yang cukup kaya dari generasi ke generasi, namun ketika nilai-nilai itu dihadapkan dengan dunia yang terus melejit maju ternyata sebagian besar tidak dapat memberikan solusi bagi masalah-masalah yang semakin kompleks, bahkan terkadang nilai itu dianggap menghambat. Lalu muncul pertanyaan, apakah tradisi etnis dan nilai-nilai budaya itu yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman ataukah ada faktor lain yang menjadi penyebab utamanya.

Sebenarnya nilai-nilai dan tradisi budaya etnik di Sumatera Utara banyak yang bernilai tinggi, hanya disayangkan belum teraktulisasikan secara optimal ke dalam kehidupan nyata –dalam arti belum dapat menjawab tantangan zaman. Sumatera Utara cukup kaya dengan keunggulan-keunggulan lokal yang melekat dengan sistem budaya dan alam sekitarnya, seperti sistem sosial yang solid dan berjangkauan luas, sistem ekonomi yang berwatak kerakyatan, karya seni yang bernilai tinggi, dan sumber alam yang kaya, namun semuanya belum termanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai, tradisi-tradisi, dan sumberdaya alamiah yang dimiliki umumnya masih bersifat potensial sementara orang-orang yang dianggap bertanggung-jawab untuk mengaktualisasikannya masih bekerja dengan tidak sepenuh hati. Mereka yang telah berpikir untuk mengembangkan nilai-nilai, tradisi-tradisi etnik dan potensi alam ke dalam bentuk-bentuk yang lebih rasional dan saling menguntungkan masih bekerja setengah hati. Gagasan-gagasan dan usaha-usaha rintisan yang diwujudkan dalam bentuk pengorganisasian masyarakat di bidang sosial, budaya, dan ekonomi, seperti organisasi-organisasi kekerabatan, yayasan-yayasan sosial, dan lembaga-lembaga ekonomi, ternyata belum mampu memberikan yang terbaik bagi anggota-anggota etnis. Hal ini tidak lain karena belum dilakukan dengan secara sungguh-sungguh dan tidak terlihat kerjasama yang padu antara elit-elit sosial.

Kaitannya dengan era globalisasi yang sudah diambang pintu, sebetulnya nilai-nilai dan tradisi-tradisi etnik yang dimiliki daerah ini dapat dijadikan sebagai modal. Paling tidak ada empat kekuatan yang dipunyai semua etnis di Sumatera Utara yang dipandang relevan didayagunakan untuk menghadapi globalisasi. Keempat kekuatan itu adalah tradisi gotong royong, sistem kekerabatan, tokoh panutan, dan keunggulan lokal. Tradisi gotong royong sesungguhnya bila ditangani dengan cara-cara yang lebih profesional dapat dijadikan sebagai model pengembangan ekonomi kerakyatan, karena dalam tradisi ini masyarakat sudah terbiasa menghimpun kekuatan secara demokratis untuk saling membantu antar sesama. Sistem kekerabatan yang begitu solid dan rapi juga dapat dikembangkan untuk membangun jaringan sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Dengan sistem kekerabatan yang ada sangat mungkin diwujudkan suatu organisasi yang kuat yang bergerak dalam pembinaan sumberdaya manusia, pengembangan budaya, dan sebagai basis untuk berbisnis. Jika tradisi gotong royong dan sistem kekerabatan dikemas dengan baik tentu akan mampu memberi nilai tambah bagi keunggulan lokal yang dimiliki sehingga layak jual ke pasaran yang lebih luas. Di sini jelas peranan tokoh-tokoh panutan (primus interpares) serta kaum terpelajar akan menjadi penting, baik sebagai benteng moral dan nilai-nilai budaya, maupun sebagai pioner dalam menggagas dan mengorganisir masyarakat dalam membenahi kehidupan mereka.

Dari itu pemikiran untuk mendayagunakan etnis sebenarnya bukanlah sekedar ‘pepesan kosong’. Jika berangkat dari suatu keyakinan, bahwa tradisi dan nilai-nilai etnis memiliki keunggulan dan akan sangat relevan untuk diaktualisasikan di era globalisasi, maka ia pasti akan membuahkan hasil yang menggembirakan. Semua orang beradab percaya bahwa kemajuan itu tidak dapat diukur dari pemiliki material tetapi justru yang lebih penting adalah manusianya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan serta tetap berpijak pada nilai-nilai kebenaran. Karena itu, globalisasi tidak dijadikan untuk menghancurkan nilai-nilai budaya, bahkan nilai-nilai budaya itulah yang harus dijadikan sebagai basis untuk mengendalikan globalisasi itu.










Pustaka Acuan

Abdullah, M. Amin, "Keimanan Universal di Tengah Pluralisme Budaya", dalam Ulumul Qur`ân, Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, Nomor 1 Vol. IV, Th. 1993, (Jakarta: LSAF & ICMI, 1993).

Agustrisno, dkk., Pembinaan Budaya Dalam Lingkungan Keluarga Daerah Sumatera Utara, (Medan: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994).

Ali, S. Husin, Rakyat Melayu Nasib dan Masa Depannya. (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985).

Awang AR, Hashim, Pengajian Sastera dan Sosial-budaya Melayu Memasuki Alaf Baru, (Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Melayu Universitas Melayu, 1998).

Baginda Marakub M., Djop Ni Roha Pardomuan", (Padang Sidempuan, Pustaka Timur, 1969).

Bangun, Payung, "Kebudayaan Batak" dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1997).

Bangun, Tridah, Adat dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo, (Jakarta: Kesaint Blanc, 1986).

_______, Manusia Batak Karo, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1986).

Bloomfield, Frena, Dibalik Sukses Bisnis Orang-Orang Cina, (Jakarta: Sangsaka Gotra, 1986).

Datubara, A.G.P., Liputan wawancara Media Komunikasi Batakologi Parhorasan Nusantra, Edisi Juni / Juli 1995 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Bahasa & Budaya Batak, 1995).

Daud, Ismail Che, Tokoh-Tokoh Ulama Semenanjung Melayu (1) (Kota Bharu: Majelis Ugama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan. 1988).

Depdikbud, "Adat-Istiadat Daerah Sumatera Utara", Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, (Jakarta: Depdikbud, 1977/1978).

Geertz, C., Agricultural Involution, (Chicago: University of Chicago Press, 1966).

Ginting, Meneth, Idaman & Harapan Masyarakat Desa Kabupaten Karo, (Medan: Universitas Sumatera Utara Press, 1990).

GsSchroder, E. E. W., Nias, Etnographishe, Geographishe Aanteeke-ningen en Studien, (Leiden: 1917).

Gulö, W., Benih Yang Tumbuh XIII (Suatu Survey Menyeluruh Tentang Banua Niha Keriso Protestan di Nias), (Semarang: Satya Wacana, 1983).

Harahap, E. ST., Perihal Bangsa Batak, (Jakarta: Dep. PP & K, 1960).

Harefa, Faogöli, Hikayat dan Cerita Bangsa Serta Adat Nias, (Rapatfonds Residentie Tapanuli, 1939).

Harris, Marvin, Patterns of Race in the Americas, (New York: Norton, 1964).

Hirst, Paul & Grahame Thomson, Globalization in Question, terjemahan P. Soemitro, Globalisasi adalah Mitos, (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 2001).

Husny, Tengku Lah, Butir-Butir Adat Budaya Melayu, (Jakarta: Depdikbud, 1984).

Hutagalung, W., Tarombo Marga ni Suku Batak, (Medan: Fa. Sihardo, 1961).

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. (Jakarta: Aksara Baru, 1980).

Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, (Yogyakarta: Tiara Wacana. 1987).

_______, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1985).

Laiya, Bambowo, Solidaritas Kekeluargaan dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1980).

Lase, Serius T., 1997, "Nias: Bukan Sub-Kultur Batak," dalam Suara Ya’ahowu, No. 8, Thn I, 15 Jan-15 Feb. 1997

Latif, Abu Bakar, Abdul (Ed). Kesatuan dan Perpaduan Dunia Melayu Dunia Islam, (Institut Kajian Sejarah dan Patriotisme Malaysia, 2001).

LeBar, Frank M., Ethnic Groups of Insular Southeast Asia, (New Heaven : HRAF Press, vol. 1, 1979).

Lubis, M. Solly, dkk., Kerja Kelompok Aron di Tanah Karo, (Medan : Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara, 1987/1988).

________, "Inilah Tano Niha (Selintas Sejarah Nias)," dalam Suara Ya’ahowu, No. 8, Thn.I, 15 Jan-15 Feb 1997.

_______, Umat Islam dalam Globalisasi, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).

Marbun, B. N., "Bisnis Tradisional Batak & Manajemen Modern", dalam Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, No. 4/1985, (Medan: Yayasan Kebudayaan Batak, 1985).

_______, "Budaya Batak Versus Kehidupan Modern", dalam Media Komunikasi Batakologi Parhorasan Nusantara, Edisi: Juni / Juli 1995, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Bahasa & Budaya Batak, 1995).

Marbun, M.A. & I.M.T. Hutapea, Kamus Budaya Batak Toba, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987).

Matondang, A. Ya'kub, "Strategi Dakwah di Tengah Budaya Global", Makalah tidak diterbitkan.

Meuraxa, Dada, Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara, (Medan: Sasterawan, 1973).

Naibaho, Mangisi, "Menata Produksi Cindera Mata di P. Samosir", dalam Media Komunikasi Batakologi Parhorasan Nusantra, Edisi: Juni/Juli 1995, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Bahasa & Budaya Batak, 1995).

Nainggolan, Ratna, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Nias, Laporan Penelitian, (Medan: Kerjasama Pemda Tk. I SU dengan Kanwil DikBud dan IKIP Medan, 1995).

Naisbitt, John, Global Paradox, edisi Indonesia terjemahan Drs. Budijanto, (Jakarta: Bina Aksara, 1994).

Napitulu, O. L., Perang Batak: Perang Sisingamangaradja, (Djakarta: Jajasan Pahlawan Nasional Sisingamangaradja, 1972).

Nasution, H. Pandapotan, SH. Mandailing Natal Peluang dan Tantangan, (Medan, Yayasan Pasarimpunan Ni Tondi, 2001).

Panggabean, H. A Hamid, SE., et.all, Bunga Rampai Tapian Nauli (Jakarta: Tapian nauli-Tujuh Sekawan. Cet.I, 1995)

Pelly, Usman dan Asih Menanti, Teori-teori Sosial Budaya, (Jakarta: B3 PTKSM P2TKPT, Ditjen DIKTI DEPDIKBUD, 1993)

Perkasa Alam, Ch. Sutan Tinggi Barani, Mangampar Ruji Nangkobar Boru", (Padang Sidempuan, 1978).

Pierre L., Van den Berghe, Race and Racism: A Comparative Perspective, (New York : Wiley, 1967).

Purba, M.D., Letkol. Purn., Mengenal Sang Naulah Damanik Sebagai Pejuang, (Medan: Penerbit MD Purba, 1980).

Purba, O.H.S. & Elvis F. Purba, Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak), (Medan: Monora, 1997).

Purba, T. B. A. Tambak, Sejarah Simalungun, (1982).

Rakhmat, Jalaluddin, "Islam Menyongsong Peradaban Gelombang Ketiga", dalam Ulumul Qur`an; Jurnal Ilmu dan Kebudayaan, No. 2, Vol. 2, 1989, (Jakarta: LSAF, 1989)

_______, Islam Aktual, (Bandung: Mizan, 1991).

Rustiani, Frida, "Globalisasi: Masihkah Ekonomi Rakyat Boleh Berharap?", dalam Frida Rustiani (ed.), Pengembangan ekonomi Rakyat dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Yayasan AKATIGA & YAPIKA, 1996).

Sanderson, Stephen K., Macrosociology, terjemahan Farid Wajidi dan S. Menno, Makro Sosiologi: Sebuah Pemdekatan Terhadap Realitas Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000).

Segawa, Shimpei, Some Preliminary Results of Research on the Culture and Society of Nias Island, North Sumatera, (Draft Laporan Penelitian, 1984).

Siagian, Robinson Togap, "Organisasi Kekerabatan (OK) Orang Batak, 50 Tahun Indonesia Merdeka", dalam Media Komunikasi Batakologi Parhorasan Nusantra, Edisi: Juni/Juli 1995, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Bahasa & Budaya Batak, 1995).

Siahaan, S.M., "Peranan dan Kedudukan Raja dalam Struktur Suku dan Masyarakat Batak", dalam Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, No. 04/1985, (Medan: Yayasan Kebudayaan Batak, 1985).

Sihombing, Parsaoran, et.all., "Struktur Bahasa Simalungun", Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sumatera Utara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1991/1992.

Sinar, Tengku Lukman, Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Melayu. (Medan: Tanpa Penerbit, 1990).

_______. Jatidiri Melayu. (Medan: MABMI, 1994).

Situmorang, Sitor, Toba Na Sae, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993).

Skinner, G.W., "The Chinese Minority", Indonesia, (R.T.Mc. Vey editor: New Heaven, HRAF, 1963).

Suzuki, P., The Religion System and Culture of Nias, Indonesia, (s’Gravenhage : 1990).

Tamboen, P. Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Balai Pustaka, 1949).

Tarigan, Henry Guntur "Tutur Pada Masyarakat Karo" dalam Percikan Budaya Karo, (Bandung: Yayasan Merga Silima, 1988).

Vasanty, Puspa "Kebudayaan Tionghoa di Indonesia" dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1997).

Vergouwen, J. C., The Social Organization and Community Law of the Toba Batak of Northern Sumatra, terjemahan Redaksi Pustaka Azet, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta: Pustaka Azet, 1986).

Yunus, Umar, "Kebudayaan Minangkabau" dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1997).

Zainuddin, H. M., Tarich Islam dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961).

Zebua, F., Kota Gunung Sitoli: Sejarah Lahirnya dan Perkembangan-nya, (Gunung Sitoli: TP., 1996).

0 komentar: