FENOMENA JILBAB DARI MASA KE MASA

0 komentar

Tugas Kelompok Artikel Fenomenologi
FENOMENA JILBAB DARI MASA KE MASA
(disunting dari artikel :”FENOMENOLOGI JILBAB”; oleh Nasaruddin Umar, Guru Besar Ilmu Tafsir Universitas Islam Negeri Jakarta, dimuat di KOMPAS Senin, 25 November 2002 )

oleh:
1). Firman Mendrofa NPM. 0720005017
2). Ermina Deasya zwesty NPM. 0720005013
3). Winda Darmayanti NPM. 0720005074


Pendahuluan.

Jilbab; pakaian penutup kepala perempuan jenis ini di Indonesia semula lebih umum dikenal dengan kerudung, tetapi pada permulaan tahun 1980-an lebih populer dengan jilbab. Jilbab berasal dari akar kata jalaba, berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi Muhammad SAW ialah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki pe-rempuan dewasa.
Jilbab dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, hijab di beberapa negara Arab-Afrika seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Hijab Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H.
Jenis pakaian perempuan pada masa Nabi sebagaimana dapat ditelusuri di dalam syair-syair Jahiliyah, antara lain burqu', kain transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka kecuali dua bola mata; niqab, kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; miqna'ah, kerudung mini yang menutupi kepala; qina', kerudung lebih lebar; litsam atau nishaf, kerudung lebih panjang atau selendang; khimar, istilah generik untuk semua pakaian penutup kepala dan leher; jilbab, pakaian luar seperti dijelaskan di atas.

Latar belakang jilbab

Jilbab merupakan fenomena simbolik sarat makna. Jika yang dimaksud jilbab penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2.000 SM) dan Code Asyiria (1.500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitusi tidak boleh menggunakan. Perkembangan selanjutnya jilbab menjadi simbol kelas menengah atas masyarakat kawasan itu. Ketika terjadi perang antara Romawi-Byzantium dan Persia, rute perdagangan antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Kota di beberapa pesisir Jazirah Arab tiba-tiba menjadi penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi pada masa ini. Kultur Hellenisme-Byzantium dan Mesopotamia-Sasania ikut menyentuh wilayah Arab yang tadinya merupakan geokultural tersendiri. Menurut De Vaux dalam Sure le Voile des Femmes dans l'Orient Ancient, tradisi jilbab (veil) dan pemisahan perempuan (seclution of women) bukan tradisi orisinal bangsa Arab, bahkan bukan juga tradisi Talmud dan Bibel. Tokoh-tokoh penting di dalam Bibel, seperti Rebekah yang mengenakan jilbab berasal dari etnis Mesopotamia di mana jilbab merupakan pakaian adat di sana.
Jilbab yang semula tradisi Mesopotamia-Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellinistik-Byzantium, menyebar menembus batas geokultural, tidak terkecuali bagian utara dan timur Jazirah Arab seperti Damaskus dan Baghdad yang pernah menjadi ibu kota politik Islam zaman Dinasti Mu'awiyah dan Abbasiah.
Pelembagaan jilbab dan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di kedua kota penting tersebut. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasional costume) mendapatkan kepastian hukum (institu-tionalized), pakaian wajib bagi perempuan Islam. Kedua kota tersebut juga punya andil besar dalam kodifikasi kitab-kitab standard seperti hadis, tafsir, fikih, tarekh, termasuk pembakuan standar penulisan dan bacaan (qira'at) Al Quran.


Wacana jilbab dalam Islam

Ada dua istilah populer digunakan Al Qur’an untuk penutup kepala yaitu khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan bersifat generik. Kata khumur (QS. al-Nur:31) bentuk jamak dari khimar dan kata jalabib (QS. al-Ahdzab:59) bentuk jamak kata jilbab.
Al Quran dan hadis tidak pernah secara khusus menyinggung bentuk pakaian penutup muka. Bahkan, dalam hadis, muka dengan tegas masuk dalam pengecualian dan dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi. Lagi pula, ayat-ayat yang berbicara tentang penutup kepala tidak ada satu pun disangkutpautkan dengan unsur mitologi dan strata sosial.
Dua ayat di atas turun dalam konteks keamanan dan kenyamanan perempuan. Sementara dalam tradisi Yunani, jilbab dianggap fenomena kelas masyarakat tertentu.
Ayat khimar turun untuk menanggapi model pakaian perempuan yang ketika itu menggunakan penutup kepala (muqani'), tetapi tidak menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap kelihatan.
Ayat jilbab juga turun berkenaan seorang perempuan terhormat yang bermaksud membuang hajat di belakang rumah di malam hari tanpa menggunakan jilbab, maka datanglah laki-laki iseng mengganggu karena dikira budak. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS al-Ahdzab:33,”Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dahulu.” Satu hal, perlu dicatat bahwa seruan mengenakan jilbab, sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, dimaksudkan sebagai cara untuk meperlihatkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak. Soalnya, dalam tradisi Arab ketika itu, perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan kaum laki-laki. Status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan. Berbeda dari kaum perempuan merdeka. Dengan begitu, identifikasi perempuan merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama dengan budak. Istilah merdeka dimaksudkan agar mereka tidak menjadi sasaran pelecehan seksual laki-laki.
Sampai di sini, pertanyaan penting agaknya perlu dikemukakan. Kalau jilbab digunakan sebagai pencirian perempuan merdeka, bagai mana pakaian yang biasa dikenakan perempuan budak? Abdul Halim Abu Syuqqah menginformasikan bahwa kaum perempuan Arab pra Islam sebenarnya biasa mengenakan pakaian dengan berbagai bentuk atau mode. Ada yang memakai cadar dan sebagainya. Beberapa bentuk dan mode pakaian yang dikenakan kaum perempuan Arab saat itu, berlaku bagi perempuan merdeka dan perempuan budak. Ketika Islam datang, mode dan bentuk pakaian yang menjadi tradisi masyarakat Arab jahiliyah masih diakui. Tetapi, ada dugaan kuat, seruan pemakaian jilbab terhadap perempuan-perempuan mukmin yang merdeka, mengindikasikan perempuan budak tidaklah mengenakan jilbab. Atau mereka mengenakannya, tetapi tidak mengulurkannya sampai menutup wajahnya. Tidak berjilbabnya perempuan budak masuk akal, karena tugas-tugas berat mereka untuk melayani majikannya.
Atas dasar itu, surat al-Ahzab 59, tampaknya hanya membicarakan ciri khusus pakaian perempuan merdeka, yang membedakannya dari pakaian perempuan budak. Ciri itu adalah jilbab. Jadi, ayat ini secara lahiriah, serta didukung latar belakang turunnya, hanya membicarakan jilbab sebagai ciri perempuan merdeka, untuk membedakannya dengan perempuan budak. Ayat ini tidak membicarakan aurat perempuan.
Pembicaraan mengenai batas-batas au-rat perempuan dikemukakan dalam ayat lain, misalnya surah al-Nur ayat 31. Para ahli tafsir, ketika mengartikan jilbab, menghubungkan surat al-Ahzab dengan surat an-Nur tadi. Dengan demikian, jilbab adalah pakaian tambahan, pelengkap atau aksesoris yang dirangkap pada pakaian lain yang untuk menutup tubuh perempuan merdeka.
Wahbah mengatakan, jilbab merupakan pelengkap kewajiban menutup aurat. Ini adalah tradisi yang baik, untuk melindungi pe-rempuan dari sasaran pelecehan laki-laki.
Ayat hijab, sangat terkait dengan keterbatasan tempat tinggal Nabi bersama beberapa istrinya dan semakin besarnya jumlah sahabat yang berkepentingan dengannya. Untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan (perlu diingat, ayat hijab ini turun setelah kejadian tuduhan palsu/hadis al-ifk terhadap 'Aisyah), Umar mengusulkan agar dibuat sekat (Arab: hijab) antara ruang tamu dan ruang privat Nabi. Tetapi, tidak lama kemudian turunlah ayat hijab yang berbunyi, ”Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para istri Nabi SAW), maka mintalah dari balik hijab. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka.”(Al-Ahzab:53)Muhammad Syahrur dalam bukunya Al-Kitab wa al-Qur'an juga pernah menyatakan hijab hanya termasuk dalam urusan harga diri, bukan urusan halal atau haram. Pada awal abad ke-19 Qasim Amin dalam Tahrir al-Mar'ah sudah mempersoalkan hal ini. Namun perlu ditegaskan, meskipun pemikir itu berpandangan kritis terhadap jilbab, tetapi mereka tetap mengidealkan penggunaan jilbab bagi perempuan. Inti wacana mereka adalah bagaimana jilbab tidak membungkus kreativitas dan produktivitas perempuan, bukannya melarang atau menganjurkan pembukaan jilbab.

Jilbab sebagai fenomena resistensi

Ketika gerakan para mullah mulai marak di Iran pada tahun 1970-an dan mencapai puncaknya ketika Imam Khomeini berhasil menggusur Reza Pahlevi yang dipopulerkan sebagai antek dunia Barat di Timur Tengah, maka Khomeini menjadi lambang kemenangan Islam terhadap boneka Barat. Simbol-simbol kekuatan Khomeini, seperti foto Imam Khomeini dan komunitas Black Veil menjadi tren di kalangan generasi muda Islam seluruh dunia. Semenjak itu jilbab mulai menghiasi kampus dunia Islam, tidak terkecuali Indonesia. Identitas jilbab seolah sebagai lambang kemenangan.
Perkembangan berikutnya, ketika perang dingin blok Timur dan blok Barat usai berbarengan dengan semakin pesatnya kekuatan pengaruh globalisasi, maka timbul kecemasan lebih kompleks dari kalangan umat Islam. Islam dan berbagai pranatanya berhadap-hadapan langsung dengan dunia Barat. Apa yang dilukiskan Huntington sebagai benturan Barat-Islam akan terjadi pada pasca benturan Timur-Barat, menunjukkan adanya tanda kebenaran, terutama setelah peristiwa 11 September 2001.
Sebagian umat Islam percaya bahwa untuk mengembalikan kekuatan Islam seperti zaman kejayaan dulu, umat Islam harus kembali kepada formalisme keagamaan dan sejarah masa lampaunya. Semangat mengembalikan simbol dan identitas Islam masa lalu terus dipompakan, termasuk di antaranya penggunaan jilbab bagi kaum perempuan dan pemeliharaan kumis dan jenggot bagi laki-laki.
Kadar proteksi dan ideologi di balik fenomena jilbab di Indonesia tidak terlalu menonjol. Fenomena yang lebih menonjol ialah jilbab sebagai tren, mode, dan privacy sebagai akumulasi pembengkakan kualitas pendidikan agama dan dakwah di dalam masyarakat. Lagi pula, bukankah salah satu ciri budaya bangsa dalam potret perempuan masa lalu adalah kerudung?
Tidak perlu over estimate atau fobia bahwa fenomena jilbab merupakan bagian dari jaringan ideologi tertentu yang menakutkan. Jilbab tidak perlu dikesankan seperti "imigran gelap" yang selalu dimata-matai, seperti yang pernah terjadi pada masa lalu yaitu fenomena jilbab dicurigai sebagai bagian dari ekspor Revolusi Iran. Sepanjang fenomena jilbab tumbuh di atas kesadaran sebagai sebuah pilihan dan sebagai ekspresi pencarian jati diri seorang perem-puan muslimah, tidak ada unsur paksaan dan tekanan, itu sah-sah saja. Tidakkah manusiawi jika seseorang menentukan pilihan-nya secara sadar?

FENOMENA ETNIS CHINA

0 komentar

Artikel kelompok kelas A Semester 2
MAHASISWA TEKNOLOGI PENDIDIKAN
Yusep Windhu Ari Wibowo
Apri Mahendra Putra
Zainal Arifin
Hairani

Fenomena etnis cina
Masa Lalu Cina Yang Buruk.
Cina pada masa lalu mengalami banyak masa keemasan meskipun Cina merupakan negara yang penuh gejolak dari dinasti ke dinasti sampai akhirnya harus takluk pada kekuasaan Mongol pada abad 12. Sistem politik dan ketatanegaraan yang begitu baik membuat Eropa kagum kepada Cina, bahkan para diplomat Inggris sengaja datang ke Cina juga untuk mempelajari sistem kerajaannya dan membawanya ke negaranya untuk dipelajari. Pada saat Marcopolo menginjak kakinya di Cina yang pada waktu itu dijajah oleh bangsa Mongol, Marcopolo terkesan dengan kemajuan yang dialami oleh negara tirai bambu ini. Negeri ini tidak akan pernah sepi dari para pedagang yang terus datang membanjiri ke negeri ini yang tidak lain adalah hanya untuk berdagang maka tidaklah heran negeri ini terdapat jalur sutera yang terkenal itu. Para pedagang dari barat rela berbulan-bulan datang ke negeri ini hanya untuk membeli sutera dan keramik yang memang merupakan komoditi terkenal dan tergolong mahal jika dijual di negeri asalnya.
Pada masa era kolonialisme barat, negeri tirai bambu ini tetap merupakan salah satu negara yang menguntungkan sehingga tidaklah heran negeri ini menjadi incaran untuk masuk dalam daftar negara jajahan oleh pihak barat termasuk Jepang. Ketidakstabilan negara inilah yang membuat satu demi satu wilayah Cina diambil satu persatu oleh pihak barat. Hongkong dan Macau merupakan salah satu korban kolonialisme barat. Walaupun begitu pihak penjajah menyadari bahwa sulit untuk menaklukan ’seekor naga besar’ tanpa bantuan dari negara-negara lain. Mungkin di antara kita pernah menonton Kung Fu Master, yang menceritakan bahwa ada 7 negara (Jepang, Amerika, Inggris, Perancis, Rusia, Jerman dan Portugal) yang harus bersekutu untuk menaklukkan Cina.
Hal ini memperlihatkan bahwa memang begitu sulit untuk menaklukan negara ini. Belum lagi Inggris yang sengaja menjual opium untuk merusak moral rakyat Cina sehingga menimbulkan korupsi di mana-mana akibat berkolusi dengan para pedagang Inggris. Satu demi satu wilayah Cina diambil alih oleh barat mulai dengan Korea yang dikuasai oleh Jepang, Indo Cina dikuasai oleh Perancis, Hongkong disewa oleh Inggris, Macau disewa oleh Portugal, Kepulauan Ryuku yang menjadi rebutan antara Jepang dan Rusia. Mungkin hanya Amerika saja yang tidak mengambil wilayah Cina, tetapi juga tidak menentang tindakan para sekutunya.
Sampai puncaknya, Cina harus kalah dalam perang melawan Jepang. Belum lagi pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri yang membuat Dinasti Manchu harus mengakhiri kekuasaannya. Walaupun tidak semua wilayah Cina dikuasai oleh barat (terakhir Jepang pada Perang Dunia II), namun secara politik Cina dipojokkan oleh barat dan Jepang dan tidak mempunyai sekutu sama sekali. Inilah masa suram Cina sehingga orang Jepang sering menyebut Cina “Pesakitan Dari Timur”.
Reformasi membawa Cina ke arah Modernisasi.
Kebobrokan pemerintah kekaisaran Cina, membuat banyak pergolakan di mana-mana, dimulai dari pemberontakan yang paling radikal yaitu “Boxer Rebellion” sampai reformasi yang dicetuskan oleh Dr. Sun Yat Sen yang ingin mengganti Cina menjadi Republik dan hal ini terwujud pada tahun 1912-1949. Jalan modernisasi Cina memang tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Cina harus menghadapi ancaman dari imperialisme barat khususnya Jepang yang begitu ambisi untuk menekan Cina. Meskipun pada Perang Dunia I Cina menjadi pemenang karena berpihak kepada sekutu akan tetapi ternyata AS yang berharap akan membela Cina dalam menghadapi tekanan Jepang justru tidak membela Cina sehingga Cina menolak menandatangani Perjanjian Versailles.
Kekecewaan rakyat akan pemerintah pada modernisasi awal ternyata masih terus berlangsung karena tekanan dari luar terasa amat besar dan pemerintah yang lembek terhadap intervensi asing. Kejadian ini membuat rakyat Cina merasa lebih baik berpihak kepada komunis daripada nasionalis. Oleh karena itulah maka Partai Komunis Cina (PKC) berhasil memaksa Kuomintang (KMT) pindah ke Taiwan.
Maksudnya memang untuk membuat Cina lebih maju daripada negara lain, akan tetapi Mao merubah Cina ke arah radikal. Sehingga tidak sedikit pula yang menentang kebijakan-kebijakan dia yang begitu kerasnya. Revolusi Kebudayaan yang dicetuskan bukan membuat Cina menjadi lebih baik, tetapi membuat Cina menjadi lebih terpuruk dan dikucilkan dari dunia internasional bahkan dari Uni Soviet yang selama ini mendukung PKC.
Tidaklah heran Cina menjadi terpencil dalam pergaulan internasional kecuali dengan Albania. Akan tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena Cina berpihak kepada Gerakan Nonblok yaitu suatu gerakan yang tidak mendukung blok barat maupun timur. Sejak meninggalnya Mao, Cina mejadi lebih terbuka terhadap barat. Kunjungan bersejarah Presiden Richard Nixon pada tahun 1972, menetapkan Cina menjadi anggota tetap DK PBB yang mempunyai hak veto untuk menggantikan Taiwan serta AS setuju untuk menarik pasukannya dari Taiwan. Sejak terbukanya RRC, satu demi satu negara mengadakan hubungan dengan RRC. Jepang yang selama ini menjadi musuh Cina akhirnya pulih pada tahun 1972. Semenjak itu Cina menjadi negara yang lebih terbuka kepada barat, tetapi walaupun begitu Cina masih tetap berhati-hati dalam hubungannya dengan barat.
Dari pesakitan sampai negara yang ditakuti.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita, tentang masa lalu Cina yang begitu suram. Kekalahan demi kekalahan terjadi dalam perjuangannya melawan imperialisme bahkan walaupun Cina dalam Perang Dunia I memihak sekutu, Cina masih tetap dirugikan. Perang Dunia II, Cina masih tetap memihak sekutu dalam melawan Jepang, akan tetapi ternyata peran Cina dalam perang melawan Jepang pun tidak membuat Cina mendapatkan keuntungan berarti dan tidak terlalu diperhitungkan sebagai pemenang besar seperti layaknya AS & Inggris.
Semenjak Cina membuka dirinya terhadap dunia internasional, Cina kebanjiran investasi dari luar negeri walaupun cakupannya terbatas. Ekonomi Cina yang dulu terpuruk akibat kebijakan Mao yang radikal sedikit demi sedikit meningkat. Banyak gedung-gedung bertingkat dibangun. Mobil-mobil mewah pun sudah dapat dilihat di RRC. Sedikit demi sedikit pengaruh barat mulai terasa, hal ini terlihat dari gaya hidup anak-anak muda RRC terutama Shanghai. Belum lagi Hongkong yang merupakan salah satu pilar ekonomi Asia jatuh ke pangkuan RRC diikuti oleh Macau. Walaupun Cina tidak maju pesat sepesat Jepang dalam hal ekonomi akan tetapi setidaknya RRC masih merupakan negara berdaulat yang masih belum terdapat campur tangan asing dibandingkan Jepang yang dulunya merupakan negara yang kalah perang. Tidaklah heran jika Jepang tidak diijinkan untuk mempunyai tentara dalam jumlah banyak serta peralatan tempur yang juga dibatasi, belum lagi pengiriman tentara keluar negeri juga dilarang hingga saat ini, meskipun demikian Jepang dalam pertahanan dalam negeri dibantu oleh AS akibat larangan-larangan dalam pengembangan militer.
Reformasi dan modernisasi ini begitu terasa sampai puncaknya pada masa pemerintahan Presiden Deng Xiao Ping, walaupun dia sempat ‘digoyang’ oleh 10,000 demonstran pro demokrasi sehingga meletuslah Peristiwa Tiananmen yang membuat RRC sempat dikecam oleh AS. Maka tidaklah heran filosofi “Tidak peduli kucing hitam atau putih yang penting bisa menangkap tikus” yang dicetuskan oleh Deng Xiao Ping dijalankan sampai Presiden Jiang Ze Min yang menggantikannya.
Bukan hanya itu saja, kemajuan RRC juga ditunjukkan dalam dunia olahraga dunia yang membuat RRC bisa unjuk gigi di dalam percaturan dunia internasional. Baru-baru ini pada Ompiade Sydney 2000, RRC menetapkan diri sebagai terkuat di Asia dan terkuat ketiga di dunia bahkan sempat menahan laju Rusia. Ambisi RRC untuk menjadi tuan rumah Olympiade 2008 pun begitu besar walaupun harus berhadapan dengan Perancis yang ingin menjadi tuan rumah.
Belum lagi proyek-proyek mercusuar seperti : Pembangunan Bendungan Raksasa terbesar di dunia yang terletak di sepanjang sungai Yang Tze yang jika terwujud akan menghasilkan tenaga listrik yang setara dengan puluhan reactor nuklir, kemudian program antariksa RRC yang berhasil meluncurkan roket Long March baru-baru ini dan ambisinya untuk mengirim taikonot (sebutan Astronot bagi AS, Kosmonot bagi Rusia) ke bulan. Pertumbuhan militer Cina pun juga begitu besar dari tahun ke tahun, membuat pihak barat khawatir akan RRC yang mungkin sewaktu-waktu mengancam.
Hal ini dapat dimengerti karena Tentara Pembebasan Rakyat Cina merupakan terbesar di dunia (2.9 juta), belum lagi peralatan militernya dan tekhnologi nuklir yang dimiliki Cina merupakan terbesar di Asia bahkan merupakan salah satu terbesar di dunia setelah AS dan Rusia. Maka tidaklah heran jika pada saat Taiwan memilih Cen Sui Ban menjadi Presiden Taiwan, RRC melakukan ancaman akan menyerang Taiwan dengan latihan perang-perangan di dekat selat Taiwan.
Kejadian ini memaksa AS mengirim kapal induknya ke Taiwan meskipun Cina mengancam AS. Jepang juga khawatir akan kecipratan jika perang antara kedua Negara seteru lama ini terjadi. Bukan hanya Taiwan saja, Cina terkadang harus bersitegang dengan India, juga dengan negara Asean sekalipun karena masalah perebutan kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan. Dan lagi-lagi Cina membawa militer untuk membela kepentingannya.
Ambisius tapi Tidak Muluk-muluk
China berambisi menjadi negara adikuasa, paling tidak dalam bidang
ekonomi. Berpenduduk 1,3 miliar jiwa atau terbesar di dunia, Negeri Tirai
Bambu tersebut terus menanamkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia.
Pemikir dan pemimpin karismatik China, Mao Zedong, sadar bahwa
penduduk yang besar bisa berarti pisau bermata dua: jadi pendorong atau
malah beban kemajuan. Namun, yang pasti, komitmen di bidang pendidikan yang
dicanangkan sejak dua dekade lalu, kini konsisten dijabarkan oleh pemerintah
dan warganya untuk memberdayakan penduduk tanpa mimpi muluk-muluk.
Zhou Dan (17) adalah salah satu dari 1,3 miliar penduduk China yang
sadar akan hal itu. Sebagai calon angkatan kerja, gadis remaja asal Tibet
itu migrasi ke Beijing untuk menyiapkan diri sebagai calon pekerja
profesional.
Tak ingin mewarisi profesi ayah-bundanya, Han Zei-Zhou Hung Mao, yang
hidup sebagai peternak di hamparan gurun, Zhou Dan giat belajar kecakapan
hidup berupa keterampilan sulaman dan jahit-menjahit di Sekolah Kejuruan
Seni dan Budaya Nasional Beijing. Bersama 1.700 siswa lainnya dan di bawah
pengasuhan 200 guru, Zhou juga belajar merakit hantaran perangkat pesta dan
suvenir.
Sekolah Unggulan Nomor 39 Beijing, Hanban (Badan Internasional Bahasa
Mandarin), Universitas Teknologi China Selatan, Universitas Jinan, Pusat
Perawatan Kesehatan Tradisional, serta Asosiasi Kerja Sama Internasional
untuk pendidikan
"Pemangku kepentingan harus bisa melihat pentingnya mutu dan relevansi
pendidikan berpijak pada kehidupan nyata," ujar Nasrullah Yusuf, salah satu
ketua asosiasi profesi terkait.
Budaya dan ekonomi
Mendengar embel-embel "kultural" di sebuah sekolah di pusat Kota
Beijing, seketika muncul bayangan akan kentalnya ajaran-ajaran bermuatan
budaya adiluhung Tiongkok. Ternyata meleset. Bertitik berat pada aspek
budaya, tidak berarti Yanjing Professional Cultural School Beijing
mengedepankan aspek budaya dan menafikan aspek-aspek teknis.
Ajaran-ajaran budaya adiluhung Tiongkok bahkan hampir tak ditemukan
dalam pembelajaran di kelas. Ini karena, materi semacam etos kerja keras,
disiplin, dan antikorupsi sudah dengan sendirinya terajarkan dari kehidupan
asrama hingga aktivitas di lingkungan sekolah.
Begitu pun kesadaran akan penampilan fisik yang tangguh sudah menjadi
"makanan" sehari-hari. Semua sekolah di China mewajibkan muridnya latihan
olahraga sejam sebelum pelajaran dimulai. Soal-soal teknis, taruhlah seperti
urusan masak- memasak, ikut menjadi salah satu bagian penting yang harus
didalami oleh siswa, di samping menekuni bidang seni budaya.
"Semua aspek kehidupan tak lepas dari estetika yang berakar- berurat
pada budaya, seni, dan tradisi. Itu kemudian berimbas pada kegiatan ekonomi
yang menopang penghidupan manusia," papar Fan Hong, wakil kepala sekolah
tersebut.
Penjelasan itu menegaskan bahwa kebudayaan dan ekonomi hendaklah
bersinergi menopang kehidupan. Kebudayaan adalah jembatan bagi manusia untuk mengaktualisasikan diri dan kehidupannya. "Pendidikanlah kuncinya," ujar Fan Hong, perempuan yang menekuni profesi guru sejak tamat ilmu kependidikan di Institut Politik Pemuda China tahun 1990.
Fan Hong mengarahkan siswanya untuk menyuguhkan makanan dan minuman
hasil kreasi siswa. Tamu bahkan disambut dengan seni pertunjukan berupa
tari, kungfu, dan rebana yang mencerminkan kesenian etnik minoritas seperti
komunitas Muslim. Meski belum profesional, secara bergilir kelompok
pertunjukan di sekolah tersebut kerap diminta mengisi acara- acara
pementasan seni budaya di berbagai gedung kesenian.
Komitmen pendidikan
Tujuan umum pengembangan pendidikan di China tak lepas dari
prinsip-prinsip dasar pembangunan ekonomi. Kerangka dasar system pendidikan
disesuaikan dengan keperluan gerakan modernisasi sosialis, dan diarahkan
pada tuntutan abad ke-21 dengan merefleksikan karakteristik dan nilai-nilai
Tiongkok.
Hal itu meletakkan hubungan yang jelas antara pendidikan dan
pembangunan ekonomi. Juga tercermin bahwa pengembangan ekonomi bergantung pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peningkatan mutu angkatan kerja.
Komitmen itu dijabarkan melalui pekerjaan-pekerjaan praktis agar
terjamin pengembangan moral, intelektualitas serta fisik para pelakunya
sebagai generasi penerus. Bagaimana mendidik 1,3 miliar penduduk menjadi
potensi untuk mewujudkan sebagai negara adikuasa, adalah tantangan yang
sedang dijawab oleh Pemerintah China.
"Kuncinya, tidak semua peserta didik harus jadi teknokrat, apalagi
muluk-muluk jadi politisi," ungkap Arianto Surojo, Sekretaris III Bidang
Sosial dan Budaya Kedubes RI di Beijing.
Pernyataan Arianto merupakan cerminan atas maraknya pendidikan teknik
dan kejuruan, atau sejenisnya, di China sejak tahun 1980-an sampai sekarang.
Generasi muda yang kini menjalani pendidikan untuk perbaikan taraf hidup
tidak mendewakan universitas dan muluk-muluk berpikir jadi pemikir,
politisi, lalu mengincar kursi di lembaga pemerintah. Kesempatan untuk
memperbaiki taraf hidup terbuka di semua sektor swasta tanpa harus
berjejal-jejal ikut tes pegawai negeri.
Seorang pemuda dari daerah tertinggal, seperti Mongol, kini untuk
"maju" tak harus masuk SMA atau universitas. Bila perlu, tanpa sekolah
formal pun dia bisa membekali diri dengan keterampilan yang sesuai kebutuhan
masyarakat dan lekat dengan akar tradisi. Contohnya, pusat- pusat
pertunjukan tari, kungfu, dan opera di Beijing, Guangzhou, dan Senzhen,
lebih banyak dihuni murid yang menyerap ilmu di kuil-kuil tradisional. Aksi
akrobatik mereka diakomodasi oleh perusahaan biro perjalanan untuk
disuguhkan kepada wisatawan asing dan domestik.
Minat kawula muda China untuk menekuni pendidikan teknik,
kejuruan—formal maupun nonformal—terus meningkat. Tahun 1990, jumlah siswa pada seluruh jenis sekolah teknik dan kejuruan di China mencapai 6,048 juta, 45,7 persen dari keseluruhan siswa pada lembaga setingkat. Jumlah itu empat
kali lipat dibandingkan awal 1980- an. Tahun 2000-an ini diperkirakan
perbandingan rasio antara siswa sekolah umum dan kejuruan, teknik—atau
sejenisnya—sudah 40:60 atau 30:70.
Selain berpenduduk terbesar , China juga merupakan salah satu negara
terluas di dunia. Wilayah seluas 9,7 juta kilometer persegi ini terhampar di
Asia Timur sampai bersinggungan dengan negara- negara Eropa Timur, termasuk
negara-negara pecahan Uni Soviet. Tak aneh jika ideologi Marxisme-Leninisme
ikut mewarnai iklim sosial politik, ekonomi, dan budaya negeri ini.
Tokoh panutan seperti Mao Zedong sadar betul bahwa penduduk dan
wilayah yang terbesar di dunia bisa bagaikan pisau bermata dua. Jika salah
kelola justru bisa berpaling jadi bumerang dan membuat China hanya jadi
ladang bulan-bulanan kapitalisme Barat.
Paman Mao tak ingin rakyatnya terpuruk. Dan, sebagaimana sifat orang
Tiongkok untuk menghormati tokoh dan pemimpin masa lalu, Pemerintah Republik China—melalui Departemen pendidikan setempat—berkomitmen menjadikan pendidikan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat di semua sektor. Semua layanan pendidikan dibiayai oleh negara, terutama menyangkut pembiayaan dan manajemen. Kontrol sosialisme menjadikan pungutan dari masyarakat hanya bersifat pendukung. Namun, urusan substansi dan muatan pendidikan diserahkan kepada sekolah.
Berbeda dengan di Indonesia, di mana semangat otonomi membuat negara
melepaskan tanggung jawabnya. Akibatnya, sekolah kebablasan bergantung pada
pungutan dari masyarakat.
Etos dan karakter
Komitmen tak hanya tampak dalam bidang ekonomi, yang kemajuannya
relatif terukur. Dalam bidang-bidang yang tak terukur—seperti etos, moral,
dan karakter—pun China tak ketinggalan. Setidaknya itu tampak dalam satu-dua
tahun terakhir di tengah pesatnya persiapan negara itu jadi tuan rumah
Olimpiade 2008.
Tak hanya pembangunan fisik berupa stadion dan perkampungan atlet yang
menjulang. Transformasi cabang olahraga pun sangat pesat. Siaran televisi,
khususnya saluran olahraga, hampir tiap malam menyiarkan persiapan atlet
China dalam cabang rugbi dan basket. Dua cabang yang selama ini sangat
populer di Amerika Serikat, ingin ditumbuhkan di China. Institusi pendidikan
olahraga prestasi pun mengontrak pelatih dari AS.
"Lewat olahraga yang mengglobal, bisa ditanamkan dalam alam bawah
sadar penduduk dunia bahwa China adalah adikuasa sejati," ujar Yi Yaoyong,
salah satu wakil dekan dari Universitas Teknologi China Selatan.
Kiranya tak salah jika kita perlu banyak berguru ke China. Kerja sama
pengajaran bahasa Mandarin sebagai bagian transformasi budaya, misalnya,
hendaknya tidak sebatas dalam pendidikan formal seperti yang telah
berlangsung di SMA dan sejumlah perguruan tinggi dalam 2-3 tahun terakhir.
Sasaran pengiriman relawan bahasa Mandarin dari China perlu diperluas ke
lembaga pendidikan nonfomal, tanpa terbatas pada SMA dan universitas
tertentu.
Bahasa Mandarin sudah menjadi bahasa perdagangan dan pergaulan
internasional. Ketulusan Pemerintah China untuk mengirimkan relawannya tanpa
digaji, akankah dibiarkan mubazir? Itu bergantung pada komitmen pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan di negeri ini.

BELAJAR sudah menjadi sifat alamiah orang-orang China. Sehingga tidak
mengherankan bila sistem pendidikan formal berbentuk sekolah yang kita kenal
sekarang ini di daratan China memiliki sejarah panjang 3.500-an tahun.
Bahasa China sendiri, baik itu dialek nasional Mandarin atau dialek
daerah-daerah (seperti Hokkian, Konghu, Khe, dan lainnya), mengharuskan
siapa saja di daratan China harus belajar apakah itu huruf kanji maupun
intonasi nada dalam bahasa percakapan.

Sebelum berdirinya RRC pada tahun 1949, misalnya, sekitar 80 persen populasi
negara ini buta huruf atau setengah buta huruf. Jumlah murid di
sekolah-sekolah hanya tercatat 4,76 persen dari keseluruhan jumlah penduduk
negara ini.

Keadaan ini berubah secara drastis bersamaan dengan berkembangnya pendidikan
yang luar biasa. Pada akhir tahun 1997 tingkat buta huruf di negara ini
tercatat 12 persen dari total penduduk, dan kurang dari enam persen di
antara orang muda dan orang-orang usia menengah.

Hak istimewa

Sistem pendidikan formal di daratan China berakar sangat panjang sampai pada
abad ke-16 Sebelum Masehi pada masa Dinasti Shang (1523-1027 SM). Selama
periode ini, pendidikan merupakan hak istimewa segelintir orang saja, dan
bertujuan untuk menghasilkan pejabat-pejabat pemerintahan.

Awalnya, kurikulum yang diajarkan terpusat pada yang disebut sebagai "Enam
Senin", masing-masing ritual, musik, memanah, mengendarai kereta kuda,
sejarah, dan matematika.

Namun demikian, bersamaan dengan tumbuhnya ajaran Konfusius (551-497 SM),
terutama pada periode negara-negara berperang (770-221 SM), kurikulum ini
secara perlahan ditambahkan dengan apa yang disebut Si Shu Wu Jing (4 Kitab
5 Klasik). Dalam 4 Kitab ini terdiri dari Analek Konfusius, Mencius, Ajaran
Besar, dan Doktrin tentang Arti, sedangkan 5 Klasik terdiri dari Buku Puisi,
Buku tentang Dokumen, Buku Ritual, Buku tentang Perubahan, serta Sejarah
Musin Semi dan Gugur.

Seluruh buku-buku yang menjadi kurikulum utama pendidikan ini menjelaskan
tentang prinsip masyarakat dan pemerintahan, termasuk di dalamnya tata
perilaku manusia maupun rumusan filosofi Konfusius (Konghucu) secara
kolektif.

Selama ribuan tahun ini di daratan China membangun pendidikan bagi sebuah
kelas elite, dan mempertahankannya hanya untuk menghasilkan golongan pejabat
kekaisaran di tengah-tengah buta hurufnya rakyat biasa.

Menurut David Surowski dari Universitas Kansas, Amerika Serikat, dalam
esainya tentang sejarah sistem pendidikan China, aktifnya pejabat kekaisaran
dalam sistem pendidikan pada umumnya hanya sebatas menentukan ujian bagi
berbagai tingkatan kedudukan jabatan kekaisaran.


Memperluas jangkauan

Selama ribuan tahun pula para elite di daratan China percaya bahwa secara
sosial maupun intelektual mereka tidak memiliki saingan, terutama
dibandingkan dengan kebudayaan Barat. Mereka mengembangkan kebudayaan yang sangat tinggi, dan terutama dengan "empat temuan" (mesiu, kompas, kertas,
dan percetakan bergerak), para elite China juga memiliki tradisi teknologi
yang luas.

Namun demikian, sejak kekalahan yang "memalukan" melawan Inggris dalam
Perang Candu (1840-1842), China akhirnya mengkaji ulang dominasinya,
setidaknya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Diikuti dengan aneksasi
Hongkong, pendidikan Barat secara perlahan mulai berakar di China terutama
melalui misionaris Kristen.

Namun demikian, masih tetap dengan latar buta huruf yang meluas di kalangan
rakyat, ujian pegawai kekaisaran masih merupakan satu-satunya cara bagi
orang China untuk menjadi pejabat. Ketika kembali kalah dalam Perang
Sino-Jepang tahun 1895, China akhirnya menyadari sepenuhnya kalau masa depanmereka, setidaknya, akan sangat tergantung dari menerima aspek tertentu darisistem pendidikan gaya Barat yang dicerminkan dalam slogan "Zhongxue wei ti,Xixue wei yong" (Pendidikan China untuk dasar, pendidikan Barat untuk
praktik).

Berakhirnya Dinasti Qing dan berdirinya Republik China pada tahun 1921
menandai perubahan penting dalam percenaan pendidikan di China dan para
pemimpin maupun ilmuwan mulai mencari sebuah sistem untuk menyediakan
kebutuhan teknologi bagi negara tanpa mengorbankan identitas kechinaannya,
termasuk memperluas jangkauannya ke rakyat yang sebagian besar berada di
wilayah pedesaan.


Restrukturisasi

Setelah berdirinya RRC pada tahun 1949, mengadaptasi model Soviet dengan
memfokuskan perhatian untuk mempertemukan kebutuhan teknologi melalui
pendidikan tinggi, pemerintahan komunisme melakukan restrukturisasi atas
universitas dan akademi.

Upaya ini ternyata juga tidak membawa perubahan, terutama pada masa KampanyeAnti-Kanan pada tahun 1957 yang diikuti oleh kegagalan berbagai kebijakandan munculnya bencana alam di mana-mana.

Di tengah kegagalan ini, para pemimpin China berupaya kembali mengimbangkan
Konfusianisme dan pendidikan gaya Barat dengan mengembangkan apa yang
disebut sistem pendidikan dua jalur, masing-masing sekolah kejuruan dan
kerja-belajar, serta universitas biasa, akademi, dan sekolah persiapan.

Sistem ini hampir berjalan dengan baik sampai pecahnya Revolusi Kebudayaan
(1966- 1976) ketika orang-orang menjadi curiga dengan sistem yang dilihat
sebagai pendekatan yang akan kembali menghasilkan elite tertentu.

Pada masa ini, seluruh sistem pendidikan mengalami kekacauan, administrasi
kampus tidak berjalan semestinya, kuliah terhenti, sistem ujian masuk
universitas ditunda, dan hanya beberapa mahasiswa saja yang diterima sampai
dengan tahun 1970-an.

Anehnya, di tengah kekacauan ini salah satu bidang pendidikan mendapat
kentungan sendiri di masa tersebut. Walaupun program sekolah dasar dan
menengah diperpendek dan kurikulum masih harus dipulihkan (antara lain
dengan menghapuskan mata pelajaran Fisika dan Kimia), anak usia sekolah
dalam jumlah yang sangat banyak dan tidak pernah terjadi sebelumnya
memperoleh pengajaran dasar.

Ini antara lain disebabkan karena banyaknya sekolah-sekolah komunal yang
didirikan di bawah kebijakan kolektivisasi pertanian. Dan untuk pertama
kalinya dalam sejarah pendidikan di China, anak- anak pedesaan mulai belajar
membaca dan menulis.

Banyak pembeli
Berakhirnya kekacauan Revolusi Kebudayaan, China mulai menata secara teratur
sistem pendidikannya yang sebelumnya tidak pernah terjangkau oleh rakyat
kebanyakan. Undang-Undang Wajib Belajar yang disahkan pada tanggal 1 Juli
1986, mengatur pendidikan seorang anak adalah pendidikan formal selama 9
tahun dan dikenal sebagai sistem 6-3 (6 tahun pendidikan dasar dan 3 tahun
sekolah menengah).

Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada tahun 1994 tercatat 98,4
persen anak- anak usia sekolah sudah mulai mengenyam pendidikan dengan angka putus sekolah yang hanya mencatat sekitar dua persen setiap tahunnya. Sistempendidikan diarahkan untuk mendukung kampanye nasional "Modernisasi Empat"dengan tetap berpegang pada Empat Prinsip Utama Partai Komunis China (PKC),terdiri dari jalan sosialis, kediktatoran demokratik rakyat, kepemimpinan
PKC, dan pemikiran Marxisme-Leninisme-Mao Zedong.

Unsur ideologi memang terasa sangat kental dalam sistem pendidikan dasar dan
menengah di China. Coba saja masuk di salah satu sekolah, berbagai murid
akan memberikan jawaban standar menyebutkan "akan berbakti untuk kemajuan
China", dan sejenisnya.

Bagi Kompas sulit untuk masuk ke sekolah-sekolah guna mengetahui lebih
mendalam apa yang terjadi di dalam sistem pendidikan di RRC. Dari berbagai
percakapan dengan kepala sekolah, dosen, dan mahasiswa, sistem pendidikan di
China berubah secara pesat, terutama dengan kehadiran sekolah-sekolah swasta
(lihat tabel).

Sebelumnya, sejak masa Mao zedong berkuasa, pendidikan di China seluruhnya
dikontrol oleh pemerintah. Seluruh anak dididik di sekolah-sekolah milik
pemerintah dan swasta sebelumnya dilarang oleh undang-undang. Adanya
undang-undang pendidikan yang baru, pendidikan sekarang ini sama halnya
dengan produk konsumtif yang dihasilkan China secara masif. Seperti halnya
barang-barang konsumsi, pendidikan di China sekarang pun "banyak
pembelinya".

Sistem kompetitif
China yang sebelumnya berpenduduk buta huruf, stagnan, dan negara yang
melihat ke dalam, secara cepat berubah menjadi kosmopolitan akibat
diperkenalkannya kekuatan pasar. Bagi orang-orang di daratan China memang
tidak ada cara lain untuk selalu belajar, bukan saja ditujukan untuk mengisi
berbagai keperluan akibat modernisasi saja, tetapi juga nuansa alamiah
bahasa lisan dan tulisannya mengharuskan siapa saja untuk selalu belajar.

Ini antara lain yang menyebabkan seorang anak, misalnya, baru bisa tidur
setelah pukul 22.00 sehabis menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Profesor Yan
Yaozhong dari Shanghai Normal University (sejenis IKIP di Indonesia) dalam
sebuah percakapan menjelaskan, keseluruhan sistem pendidikan di daratan
China mengharuskan anak untuk menghafal dan ujian.

"Hafalan dan ujian adalah aktivitas terpenting seorang anak di sekolah,"
jelasnya. Dia menceritakan, karena kebiasaan menghafal ini sampai ada
seorang mahasiswa di kampusnya yang mampu untuk menghafal kamus Inggris
Webster di luar kepala.

Secara keseluruhan ada 5 karakteristik pendidikan di China: ukuran,
komprehensif, tidak seimbang, kompetitif, dan tersentralisasi. Sistem
pendidikan di China mungkin termasuk yang terbesar di dunia, dengan jumlah
330 juta orang murid. Jumlah ini sendiri sudah lebih besar dibanding total
populasi Indonesia. Jumlah sekolah di seluruh daratan China tercatat lebih
kurang 710.000 sekolah.

Sistem pendidikan di RRC termasuk komprehensif dan merupakan sistem
pendidikan yang lengkap, terdiri dari pendidikan prasekolah (sebelum usia 6
tahun), pendidikan dasar (bisa masuk pada usia 6 tahun, sedangkan di wilayah
pedesaan dimulai usia 5 tahun), pendidikan menengah (3 tahun untuk menengah
pertama, dan 3 tahun untuk menengah lanjut), universitas (4 tahun untuk
sarjana, 2-3 tahun untuk nonsarjana), serta pendidikan pascasarjana (2-3
tahun untuk magistrat dan 2-3 untuk doktoral).

Di sisi lain, sistem pendidikan di China bukan sebuah sistem yang seimbang.
Walaupun banyak sekolah di perkotaan yang bisa bersaing dengan sekolah-
sekolah swasta atau sekolah asing, sebagian besar sekolah- sekolah di
daratan China berada di pedesaan. Umumnya sekolah di wilayah pedesaan itu
memiliki dana yang sedikit, pengajar dan peralatan yang tidak memadai.
Banyak anak- anak di kawasan pedesaan yang menghentikan pendidikannya
walaupun belum menyelesaikan pendidikan dasarnya karena alasan ekonomi.

Sistem pendidikan di RRC merupakan sebuah sistem yang sangat kompetitif.
Karena besarnya jumlah orang yang memerlukan pendidikan, serta terbatasnya
tempat di universitas atau akademi, ujian masuk perguruan tinggi menjadi
sangat ketat. Setidaknya 7 persen (20 tahun lalu angka ini hanya tercatat 4
persen) dari lulusan sekolah lanjutan yang bisa masuk ke universitas. Sistem
ujian universitas dikelola secara nasional, dan seluruh siswa di RRC
memusatkan perhatiannya pada ujian ini.

Sistem pendidikan di RRC juga tersentralisasi, dan semua terpusat pada
kementerian yang berada di Beijing. Kementerian pendidikan memberikan
pengarahan secara berantai ke berbagai komisi pendidikan di tingkat
provinsi, kota, desa, dan lainnya, termasuk penentuan buku teks yang
digunakan, jumlah siswa dalam kelas, serta ukuran lapangan olahraga.

Definisi terdidik

Di masa mendatang, pendidikan di China akan tetap menjadi pemacu institusi
sosial daripada hanya menjadi sebuah agen perubahan sosial yang otonom.
Derajat otonomi pendidikan vis-à-vis negara China akan sangat tergantung
pada perluasan lingkup reformasi politik dan lingkup privatisasi pendidikan.

Keseluruhan sistem pendidikan di daratan China memang akan menghadapi
berbagai kebijakan pendidikan mendasar untuk berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan pembangunan yang paling mendasar. Seperti, apa
definisi seorang China yang terdidik dalam lingkungan global yang terus
meningkat yang ditandai dengan cepatnya perubahan teknologi?

Pertanyaan lain yang juga dihadapi oleh China adalah kombinasi intervensi
seperti apa yang diperlukan dalam sistem pendidikannya dengan sektor- sektor
lainnya agar mampu untuk mengangkat kelompok besar penduduknya yang
termarjinalisasi ke luar dari kemiskinan? Keseluruhan pertanyaan jenis ini
yang akan menjawab dan menentukan siapa yang akan dididik, bagaimana mereka
dididik, dan isi dari pendidikan itu sendiri. (rene L Pattiradjawane)

MENDIDIK 1.3 MILYAR MANUSIA
Banyak sekali objek menarik yang dapat kita kunjungi di sana,
misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih terlihat segar
terbujur, monumen bersejarah, People’s House, museum, dan Forbidden
City (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang lalu).
Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan puluhan
ribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak ada
satu pun sampah yang bergeletak di sana. Di seluruh tempat keramaian
yang penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukan
sampah tergeletak di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, dan
masih banyak penduduk yang miskin.
Di Indonesia, di tempat-tempat keramaian pasti identik dengan sampah
berserakan. Penulis pernah saksikan di sebuah ruangan seminar di
Jakarta yang dihadiri para guru yang jumlahnya tidak sampai 100
orang. Setelah seminar berakhir, lantai ruangan penuh berserakan
kotak-kotak snack, gelas air minum kemasan, dan plastik. Bayangkan,
di sebuah ruang kecil yang dihadiri para guru yang kerjanya mendidik
manusia, tetapi sudah bisa mengotori sebuah ruangan!
Penulis jadi tertarik untuk mengetahui, mengapa negara Cina yang
relatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budaya
akibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitu
cepat mengejar ketertinggalannya? Padahal, pada akhir 1970-an, kita
masih melihat bagaimana miskinnya rakyat Cina yang masih memakai baju
hitam atau abu-abu. Terus terang, tidak terasakan adanya perbedaan
yang menyolok antara ketika penulis sedang di Beijing, dan di Tokyo,
Seoul, Hong Kong, ataupun Singapura.
Kebetulan, ketika sedang transit di Bandara Changi Singapura dalam
perjalanan ke Beijing, penulis sempat mencari buku tentang sejarah
Cina, dan menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Li Lanqing (mantan
Wakil PM Cina), berjudul Education for 1.3 Billion (Pearson Education
and China: Foreign Language Teaching & Research Press, 2005). Setelah
membaca buku tersebut, bisa dimengerti mengapa Cina bisa begitu cepat
maju, karena reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina tampaknya
berhasil membentuk SDM yang memang cocok untuk iklim modern.
Terus terang, cukup surprised membaca pemikiran Li Lanqing, seorang
politikus dan birokrat, tetapi anehnya mempunyai pemahaman yang
komprehensif dan mendalam tentang pendidikan. Semua kebijakan yang
diambilnya dalam mereformasi pendidikan di Cina, diinspirasikan oleh
berbagai buku yang dibacanya, misalnya, ia menguasai bagaimana
perkembangan hasil riset otak dari sejak tahun 1950-an sampai tahun
1990-an, sehingga ia mengerti bahayanya sistem pendidikan yang
terlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku,
termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam
ujian.
Ia juga terinspirasi pemikiran Howard Gardner tentang multiple
intelligences, yang ia baca buku-bukunya sejak Frames of Minds
(1983). Li Lanqing begitu antusias untuk menerapkan berbagai teori
mutakhir ke dalam sistem pendidikan di Cina, dan menurutnya: “I am
interested in it because I want to call the attention of our
educators and scientists ….so that education in this nation can be
made to enhance people’s all-round development and tap the potential
of human resources to the fullest measure” (hal 316-317). Namun, Li
Lanqing juga masih membawa nilai-nilai luhur Cina ke dalam reformasi
pendidikannya.
Pendidikan Karakter
Dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping
pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnya
pendidikan karakter: Throughout the reform of the education system,
it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamental
purpose of turning every citizen into a man or woman of character and
cultivating more constructive members of society (Decisions of Reform
of the Education System, 1985). Karena itu program pendidikan
karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankan
sejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.
Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep dan
metodologi dengan pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, atau
bahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalah
untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the
good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan
aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir
menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Sedangkan pendidikan moral, misalnya PPKN dan pelajaran agama, adalah
hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan), tanpa ada apresiasi
(emosi), dan praktik. Sehingga jangan heran kalau banyak manusia
Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat kitab suci, tetapi
tidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur,
beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.
Kebijakan reformasi pendidikan ke arah pembentukan karakter memang
terus mendapat dukungan secara eksplisit oleh Presiden Jiang Zemin,
yaitu melalui pidato-pidatonya. Sehingga, seperti yang diungkapkan
oleh Li Lanqing: “After many years of practice, character education
has become the consensus of educators and people from all walks of
life across this nation. It is being advanced in a comprehensive
way”. Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi
manusia, sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalu
menekankan hapalan dan orientasi untuk lulus ujian (kognitif). Hampir
semua pemimpin di Cina, dari Jiang Zemin, Li Peng, Zhu Rongji sampai
Hu Jianto dan lainnya, sangat prihatin dengan sistem pendidikan yang
terlalu menekankan aspek kognitif saja, yang dianggap
dapat “membunuh” karakter anak, misalnya PR yang terlalu banyak,
pelajaran yang terlalu berat, orientasi hapalan dan drilling, yang
semuanya dapat membebani siswa secara fisik, mental, dan jiwa (hal
336).
Bahkan pada tanggal 1 Februari, 2000, Presiden Jiang Zemin
mengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimana
mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan
yang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruh
aspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter,
aestetika, dan fisik (atletik).
Walaupun masih belum sempurna, dengan ideologi komunisnya, tampaknya
Cina ingin menunjukkan “wajah” yang berbeda dari negara komunis
lainnya. Mungkin Cina bisa mewujudkan impian para pemikir sosialis
yang berseberangan dengan pemikiran Karl Marx, seperti Proudhon dan
Robert Owen, bahwa kesadaran moral sosialis sejati harus menjadi alat
untuk mencapai tujuan akhir ideologi sosialisme, dan praksisnya
adalah bagaimana menyiapkan manusia untuk mempunyai karakter seorang
sosialis sejati (persaudaraan antarmanusia; saling peduli, dan
berkeadilan). Karl Marx justru tidak setuju dengan pemikiran itu,
karena kesadaran moral sosialis baginya adalah hanya tujuan akhir,
dan praksisnya adalah perubahan struktur masyarakat yang tidak ada
kaya-miskin, dengan pemaksaan atau kediktatoran (bertentangan dengan
moral sosialis sejati)— the end justifies the means.
Kekuatan Dahsyat
Apabila Cina bisa berhasil mendidik 1,3 miliar manusianya menjadi
manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli, dan sebagainya), maka
jumlah penduduk sebesar itu akan menjadi kekuatan yang amat dahsyat
bagi kemajuan Cina. Inilah yang membuat para pakar Amerika Serikat
deg-degan, seperti kata Bill Bonner yang mengkhawatirkan kondisi AS
di masa depan: “Bisa dibayangkan dalam waktu 20 atau 30 tahun ke
depan, mungkin akan banyak orang Amerika yang mencari pekerjaan
sebagai baby sitter di Cina.”
Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar
manusianya, Indonesia tentunya bisa melakukannya. Namun, gaung
pendidikan karakter belum banyak terdengar dari para pemimpin kita.
Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semua
bisa melakukannya di lingkungan terkecil kita; keluarga dan sekolah
Minggu lalu penulis sempat mengunjungi Lapangan Tiananmen di Beijing.Tempat tersebut memang amat terkenal, karena sempat menjadi perhatiandi seluruh dunia ketika terjadi protes mahasiswa terbesar di RepublikRakyat Cina pada Juni 1989. Katanya tempat tersebut selalu ramai,bahkan kalau hari-hari libur sulit bagi kita untuk melihat lantainyakarena begitu banyaknya manusia.
Banyak sekali objek menarik yang dapat kita kunjungi di sana,misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih terlihat segarterbujur, monumen bersejarah, People's House, museum, dan ForbiddenCity (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang lalu).Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan puluhanribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak adasatu pun sampah yang bergeletak di sana.
Di seluruh tempat keramaianyang penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukansampah tergeletak di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, danmasih banyak penduduk yang miskin. Di Indonesia, di tempat-tempat keramaian pasti identik dengan sampahberserakan. Penulis pernah saksikan di sebuah ruangan seminar diJakarta yang dihadiri para guru yang jumlahnya tidak sampai 100 orang. Setelah seminar berakhir, lantai ruangan penuh berserakankotak-kotak snack, gelas air minum kemasan, dan plastik.
Bayangkan, di sebuah ruang kecil yang dihadiri para guru yang kerjanya mendidikmanusia, tetapi sudah bisa mengotori sebuah ruangan!Penulis jadi tertarik untuk mengetahui, mengapa negara Cina yangrelatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budayaa kibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitucepat mengejar ketertinggalannya? Padahal, pada akhir 1970-an, kitamasih melihat bagaimana miskinnya rakyat Cina yang masih memakai bajuhitam atau abu-abu.
Terus terang, tidak terasakan adanya perbedaan yang menyolok antara ketika penulis sedang di Beijing, dan di Tokyo,Seoul, Hong Kong, ataupun Singapura. Kebetulan, ketika sedang transit di Bandara Changi Singapura dalam perjalanan ke Beijing, penulis sempat mencari buku tentang sejarahCina, dan menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Li Lanqing (mantanWakil PM Cina), berjudul Education for 1.3 Billion (Pearson Educationand China: Foreign Language Teaching & Research Press, 2005). Setelahmembaca buku tersebut, bisa dimengerti mengapa Cina bisa begitu cepatmaju, karena reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina tampaknya berhasil membentuk SDM yang memang cocok untuk iklim modern.

Terus terang, cukup surprised membaca pemikiran Li Lanqing, seorang politikus dan birokrat, tetapi anehnya mempunyai pemahaman yangkomprehensif dan mendalam tentang pendidikan. Semua kebijakan yangdiambilnya dalam mereformasi pendidikan di Cina, diinspirasikan olehberbagai buku yang dibacanya, misalnya, ia menguasai bagaimanaperkembangan hasil riset otak dari sejak tahun 1950-an sampai tahun1990-an, sehingga ia mengerti bahayanya sistem pendidikan yangterlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku,termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian.Ia juga terinspirasi pemikiran Howard Gardner tentang multipleintelligences, yang ia baca buku-bukunya sejak Frames of Minds(1983). Li Lanqing begitu antusias untuk menerapkan berbagai teorimutakhir ke dalam sistem pendidikan di Cina, dan menurutnya:
"I aminterested in it because I want to call the attention of oureducators and scientists ....so that education in this nation can bemade to enhance people's all-round development and tap the potentialof human resources to the fullest measure" (hal 316-317). Namun, Li Lanqing juga masih membawa nilai-nilai luhur Cina ke dalam reformasipendidikannya.

Pendidikan Karakter Dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnyapendidikan karakter: Throughout the reform of the education system,it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamentalpurpose of turning every citizen into a man or woman of character andcultivating more constructive members of society (Decisions of Reformof the Education System, 1985).
Karena itu program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankansejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep danmetodologi dengan pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, ataubahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalahuntuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving thegood, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkanaspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukirmenjadi habit of the mind, heart, and hands.Sedangkan pendidikan moral, misalnya PPKN dan pelajaran agama, adalah hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan), tanpa ada apresiasi(emosi), dan praktik.
Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat kitab suci, tetapitidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur,beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.Kebijakan reformasi pendidikan ke arah pembentukan karakter memangterus mendapat dukungan secara eksplisit oleh Presiden Jiang Zemin,yaitu melalui pidato-pidatonya.
Sehingga, seperti yang diungkapkanoleh Li Lanqing: "After many years of practice, character educationhas become the consensus of educators and people from all walks oflife across this nation. It is being advanced in a comprehensive way". Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensimanusia, sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalumenekankan hapalan dan orientasi untuk lulus ujian (kognitif). Hampirsemua pemimpin di Cina, dari Jiang Zemin, Li Peng, Zhu Rongji sampaiHu Jianto dan lainnya, sangat prihatin dengan sistem pendidikan yangterlalu menekankan aspek kognitif saja, yang dianggapdapat "membunuh" karakter anak, misalnya PR yang terlalu banyak,pelajaran yang terlalu berat, orientasi hapalan dan drilling, yangsemuanya dapat membebani siswa secara fisik, mental, dan jiwa (hal336).
Bahkan pada tanggal 1 Februari, 2000, Presiden Jiang Zeminmengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimanamengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikanyang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruhaspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter, aestetika, dan fisik (atletik).Walaupun masih belum sempurna, dengan ideologi komunisnya, tampaknya Cina ingin menunjukkan "wajah" yang berbeda dari negara komunislainnya. Mungkin Cina bisa mewujudkan impian para pemikir sosialisyang berseberangan dengan pemikiran Karl Marx, seperti Proudhon danRobert Owen, bahwa kesadaran moral sosialis sejati harus menjadi alatuntuk mencapai tujuan akhir ideologi sosialisme, dan praksisnyaadalah bagaimana menyiapkan manusia untuk mempunyai karakter seorangsosialis sejati (persaudaraan antarmanusia; saling peduli, danberkeadilan) . Karl Marx justru tidak setuju dengan pemikiran itu,karena kesadaran moral sosialis baginya adalah hanya tujuan akhir,dan praksisnya adalah perubahan struktur masyarakat yang tidak adakaya-miskin, dengan pemaksaan atau kediktatoran (bertentangan denganmoral sosialis sejati)--- the end justifies the means.

.
Membangun Pendidikan Berkiblat ke Cina

Pendidikan di Nusa Tenggar Barat (NTB) membangun kiblat baru. Setelah berkunjung selama sepuluh hari 9-19 November lalu ke Cina, Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) NTB, Drs. Zaini Arony, MPd menekankan perlunya reorientasi pendidikan di NTB. ”Kita harus melakukan orientasi baru. Paling cocok bagi NTB adalah berkiblat ke Cina,” kata Zaini kepada SH di kantornya, beberapa waktu lalu
Tak dijelaskannya, kemana orientasi pendidikan NTB selama ini. Namun, Zaini menunjuk tentang bahasa asing yang diajarkan di sekolah-sekolah menengah. Seperti halnya terjadi di daerah lainnya di Indonesia, selain diajarkan bahasa Inggris siswa-siswa di NTB diberi pilihan bahasa lainnya, yaitu bahasa Jerman atau Prancis. Padahal, sejauh ini pengajaran bahasa itu dianggap tak cukup memberi manfaat setelah siswa lulus sekolah.
Secara tersirat, petinggi dinas pendidikan di NTB itu mengatakan, pengajaran bahasa asing itu mencerminkan ke arah mana pendidikan itu berkiblat. Mengapa selama ini bahasa Cina tak diajarkan di sekolah-sekolah?
Memang harus ada orientasi yang jelas bila hendak memajukan sektor pendidikan. Sebab membangun pendidikan harus belajar dari negara yang sudah maju. ”Tentu saja yang comparable,” kata Zaini.
Namun, dianggap kurang tepat kalau pendidikan di Indonesia harus memilih model seperti yang sekarang berkembang di Amerika, Inggris, Jerman, Prancis, bahkan di Jepang yang termasuk negara yang mapan (establish country). Paling jauh Indonesia hanya bisa melihatnya dari segi komitmen atau mekanisme. Tapi model pendidikan yang berorientasi ke negara-negara maju tersebut jelas butuh anggaran dan fasilitas yang dipastikan tak terjangkau bagi Indonesia.
Kalau mencari negara yang rata-rata mirip dengan Indonesia, bisa menengok ke negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Malaysia, Singapura atau Filipina yang secara objektif pengelolaan pendidikannya lebih maju. Tapi, seringkali kemajuan pendidikan yang dicapai sesama negara ASEAN itu, dianggap lebih mungkin karena harus melayani jumlah penduduk yang jauh lebih kecil dari Indonesia.
Berbeda dengan Cina. Cina adalah negara besar dengan tingkat kepadatan penduduk luar biasa, tapi juga berhasil mengelola pendidikannya. Sistem pendidikan yang dikembangkan di Cina paralel dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. ”Kalau melihat kepadatan penduduk, paling mirip dengan Indonesia adalah Cina,” ujar Zaini. Dengan penduduk yang jumlahnya sangat besar, ternyata pendidikan di Cina jauh lebih maju, tambahnya.
Sistem pendidikan yang dikembangkan di Negeri Tirai Bambu itu juga sama dengan Indonesia. Baik sistem dalam arti lama berlajar, kurikulum, perekrutan tenaga pengajar dan kemiripan lainnya.

Kemajuan Cina
Selama sepuluh hari, Kepala Dinas Dikpora NTB, Wakil Ketua DPRD, Bupati Lombok Barat dan Lombok Tengah, Ketua Komisi E DPRD NTB, Asisten III Setda NTB, dan Kepala Bappeda melakukan kunjungan Misi Pendidikan ke Republik Rakyat Cina. Selama di Cina, para pejabat NTB itu makin tahu, ternyata negara komunis itu ekonominya makin bergerak melampaui batas ideologi negara.
Meski belum semaju negara-negara barat, kemajuan tegnologi Cina banyak menopang pencapaian kemajuan ekomnominya. Tapi terutama kemajuan itu dimulai dari reformasi pendidikannya yang memang diarahkan memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. ”Ekonomi Cina cepat recovery karena ditunjang pendidikan. Tenaga ahli yang dihasilkan banyak yang sesuai kebutuhan masyarakat,” kata Zaini Aroni.
Sekarang Cina memiliki Legend Grof di Hang Chou, yang merupakan perusahaan computer terbesar di dunia disamping Acer, Dell, NEC, atau IBM. Tamu-tamu dari NTB ditemui presiden perusahaan dan staf terasnya yang dengan ramah menjelaskan seluk beluk perusahaannya.
Menurutnya, Presiden Legend Grof, perusahaan itu mula-mula didanai pemerintah sebesar 200 ribu Yuan atau 75 persen dari nilai total investasinya. Dengan manajemen dan kultur perusahaan yang membangun komitmen bagi pelanggan, tak terlalu lama perusahaan ini melesat. Dalam lima tahun terakhir (1996-2001) perkembangan perusahaan sangat mencengangkan, dan masuk dalam daftar perusahaan komputer terkenal di dunia.
Saat ini perusahaan Legend Grof banyak membantu pemerintah terutama dalam mengembangkan zona-zona industri dalam pelatihan komputer bagi karyawan. Namun yang lebih penting lagi komitmennya yang besar untuk membantu universitas, sekolah-sekolah dan praktek-praktek teknologi komputer bagi siswa, bahkan sejak sekolah rendah.
Misi pendidikan dari NTB telah mengikat kesepakatan dengan Legend Grof ini. Yaitu melakukan kerjasama dalam peningkatan pendidikan di NTB, khususnya di bidang komputerisasi.

Inovasi Teknologi
Delegasi NTB juga melakukan kerjasama serupa dengan salah satu perusahaan teknologi kreatif. Perusahaan ini melakukan inovasi teknologi, memadukan teknologi komputer dengan peralatan kesenian yang digunakan sebagai alat bantu pelajaran bagi siswa SD, SLTP dan SMK Industri (kesenian).
Rupanya Cina telah mengembangkan pendidikan melalui komputer yang dimanfaatkan untuk pengajaran musik. Perusahaan itu akan mengirimkan teknisi teknologi kreatifnya untuk melatih calon instruktur di NTB. Atau sebaliknya, calon instruktur dari NTB dibiayai magang di Cina.
Mampir di Zheijiang University delegasi NTB terpukau pengelolaan perguruan tinggi yang memadukannya dengan pengembangan teknologi dan kegiatan ekonomi. Zheijian University merupakan universitas terkemuka di Cina dengan jumlah mahasiswa mencapai 30 ribu orang dari beberapa jurusan, termasuk Program S2 dan S3. Jumlah staf pengajar dan administrasinya lebih dari 10 ribu orang. Universitas ini memiliki usaha yang disebut Fang Yuan, dan memiliki peringkat perusahaan 50-70 terbesar di Cina.
Unit usaha Fang Yuan di back up Fakultas Teknik, salah satu produk yang dihasilkan oleh perusahaan ini adalah laboratorium bahasa untuk siswa, mahasiswa dan masyarakat umum dengan penggunaan teknologi pendidikan yang canggih. Produk laboratorium bahasa itu telah dipasarkan ke beberapa negara Asia khususnya Asia Barat.
”Pendidikan di Cina sangat produktif. Kegiatan akademis, pengembangan teknologi dan bisnis saling mendukung.” kata Kepala Bappeda NTB, Ir. Nanang Samudra. Itu sangat sesuai dengan daerah seperti NTB, yang memerlukan sistem pendidikan yang relevan untuk membantu keluar dari keterpurukan ekonomi, ujarnya.

Pengajaran Bahasa Cina
Gubernur Harun juga akan segera bersurat kedutaan Cina, untuk mengetahui lebih banyak tentang rencana pengembangan bahasa Cina dan kontribusi apa yang bisa diberikan. Pendekatan juga dilakukan pada organisasi atau paguyuban orang-orang Cina di NTB yang punya kepedulian dalam pengajaran bahasa Cina. ”Baru untuk operasionalnya, kita bicara dengan kepala sekolah,” ujar Zaini.
Setidaknya tahun depan, NTB sudah punya format yang jelas bagaimana kemungkinan implementasi pembelajaran bahasa Cina di SMU. Sebab kesepahaman untuk memaju pendidikan dan budaya Cina, sudah dijalin antara Cina melalui Sanghai Teachers University dengan Pemprov NTB melalui Dikpora. Pihak Sanghai sendiri akan membantu pengadaan Laboratorium Bahasa.
Reorientasi tak berarti akan merubah kurikulum secara drastis. ”Kita mulai dari bahasa. Bahasa Prancis, Jerman atau Cina. Karena Cina dianggap urgen, maka yang lain diundurkan dulu. Jadi kita juga tak menambah beban kurikulum,” jelas Zaini.
Mengapa bahasa Cina dianggap lebih urgen? Kenyataannya Cina adalah pasaran yang besar untuk produksi, termasuk pasaran kerja. Sekarang menurut catatan, jumlah tenaga kerja dari Indonesia di Hongkong jumlahnya melampaui 70 ribu orang. Tenaga kerja Indonesia di Hongkong termasuk kedua terbesar setelah Filipina yang mencapai 170 ribu.Celakanya, tenaga kerja dari Indonesia itu baru menyentuh level bawah alias pembantu rumah tangga.

Hubungan RRC dengan Indonesia.
Akibat G30S/PKI, hubungan diplomatik RRC dengan Indonesia terputus. Padahal mereka pernah berhubungan mesra karena kesamaan pikiran dalam menghadapi imperialisme barat. Poros Jakarta - Peking - Pyongyang merupakan salah satu bentuk kerja sama yang digunakan Indonesia untuk menentang Inggris dan Amerika. Pres. Soekarno sendiri menjadi lebih dekat dengan pihak komunis, walaupun Pres. Soekarno pernah mengatakan bahwa Soekarno tidak menganut segala bentuk isme di dunia termasuk kapitalisme dan komunisme. RRC juga pernah memberikan bantuan senjata serta tenaga ahlinya ke Indonesia dan membantu berkembangnya PKI di Indonesia.
Pada tahun 1992, hubungan diplomatik kedua negara pun menjadi pulih. Sebelumnya Indonesia pernah mengadakan hubungan dagang dengan RRC walaupun tidak resmi dan bersifat tertutup. Pada saat terjadi kerusuhan SARA bulan Mei 1998, RRC mengecam akan terjadinya pelanggaran terhadap etnis tionghoa walaupun Taiwan bereaksi lebih keras lagi. Semenjak zaman reformasi, hubungan RRC dengan Indonesia menjadi seakan lebih dekat lagi. Hal ini disebabkan Indonesia dan RRC mengalami nasib yang sama yaitu dituduh melakukan pelanggaran HAM. Apalagi Presiden KH Abdurahman Wahid mencetuskan ide untuk membentuk kerja sama ekonomi, politik dan militer antara RRC Indonesia - Jepang - Singapore dan India, meskipun hal ini sulit terwujud karena masing-masing negara masih berbeda pandangan.
Etnis Cina di Indonesia
Praktik diskriminasi etnis telah lama dijalankan, utamanya di masa Orde Baru (Orba). Di masa ini, pintu kebebasan dan saluran komunikasi publik khususnya terhadap etnis Tionghoa sangat tertutup rapat. Tak heran, kalau peran warga etnis Tionghoa dalam bidang khususnya politik sangat sedikit.

Seiring tumbangnya Orba, suasana hidup berbangsa mulai berubah ditandai dengan pintu kebebasan berdemokrasi dan berpendapat mulai dibuka. Namun demikian, pola dan praktik diskriminasi di era reformasi seperti saat ini bukan berarti sudah tidak ada masalah. Justru masih menyisakan masalah. Hanya saja, bentuk dan ragam polanya telah berubah.
Menurut saya, segala bentuk dan parktik diskriminasi yang masih terus saja terjadi di negeri ini sebetulnya bukan disebabkan karena kesalahan masyarakat, tetapi justru produk hukumnya yang masih warisan kolonial itu membuat orang bertindak diskriminatif.

Saya katakan demikian, karena masyarakat kita meski berbeda suku, budaya, agama, dan bahasa, faktanya justru tidak masalah. Masalahnya justru ada pada hukum yang secara langsung maupun tidak mendorong orang untuk menafsirkan pada hal-hal yang mengarah pada pola dan praktik diskriminatif.

Meski bukan orang hukum, saya bisa memahami hal itu selain karena berdiskusi dengan beberapa pihak yang mengetahui hukum juga membaca dan memahami praktik diskriminasi di masyarakat melalui berbagai informasi dan media.
Hemat saya, pemerintah dalam hal ini seolah memberi contoh dan mengajari rakyat atau masyarakat untuk berbuat diskriminatif dengan menduakan warga etnis Tionghoa sebagai warga kelas kedua.

Coba bayangkan, anak tiri dalam sebuah keluarga. Manakala orangtua mengajari anaknya untuk berbuat tidak adil terhadap anak tiri maka sudah pasti menjadi tidak baik. Tetapi situasi dan suasana akan berbeda manakala tidak ada istilah anak tiri, tetapi semua dianggap sama sebagai anak. Tentu, suasana hidup damai, harmonis, dan sejahtera akan dirasakan.
Beberapa di antaranya adalah praktik dan pola diskriminatif dalam undang-undang yang mengatur masalah dispenduk (Dinas Kependudukan). Nah, di sini warga etnis Tionghoa masih saja dipersulit dalam mengurus urusan asal usul dan status kewarganegaraan. Akibatnya, tidak sedikit warga etnis Tionghoa yang belum memiliki status kewarganegaraannya.
Karena masalahnya lebih pada aspek hukum, maka hukum yang berbau diskriminatif itu perlu segera diubah dengan peraturan atau hukum baru yang lebih terbuka dan anti diskriminatif terhadap etnis apapun dan siapapun, khususnya etnis Tionghoa.

Selain itu, jalan yang perlu ditempuh adalah melalui pendidikan penyadaran. Tujuan pendidikan ini adalah memberikan pemahaman bahwa praktik diskriminasi itu tidak baik dan perlu dihindari. Lebih dari itu, pendidikan ini harus menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang akhir-akhir ini semakin mengikis. Praktik cinta tanah air dan bangsa mulai hilang dan tampak sangat ritual formalistik. Hal itu tampak, tatkala kita menyaksikan perayaan-perayaan hari besar nasional dalam rangka memperkuat ruh nasionalisme justru ternyata hanya sekadar upacara dan pemasangan bendera.

Karena itu, cinta tanah air dan bangsa perlu dipahami dan dipraktikkan mulai sejak dini, terutama usia-usia kanak-kanak. Lebih dari itu, masyarakat juga bisa membiasakan diri dengan kegiatan yang mengarah pada hidup demokratis dan nasionalistik.
Selama ini, kita terus mendesak kepada pemerintah agar segera merubah peraturan perundang-undangan yang masih mendiskriminasi etnis, khususnya etnis Tionghoa. Lebih dari itu, kita juga melakukan gerakan kultural dan dialog dengan berbagai pihak. Tujuannya adalah untuk melawan segala pola dan praktik diskriminasi di negeri ini.

Beberapa cara yang kita lakukan adalah dengan cara mendirikan posko pengaduan bagi korban diskriminatif. Posko ini adalah kerjasama dengan berbagai pihak dan lembaga pro-korban diskriminatif, khususnya di Jawa Timur. Beberapa pihak dan lembaga yang mendukung tersebut diantaranya dari unsur INTI, Tao, Kristen, Katholik, Buddha, Kong Hu Chu, Kelenteng Boen Bio, JIAD (Jaringan Islam Anti-Diskriminasi) dan SIKAD (Sinergi untuk Anti Kekerasan dan Anti Diskriminasi).

Secara umum, inti program tersebut adalah memberikan pelayanan dan tempat pengaduan bagi korban diskriminasi di tanah air, khususnya masyarakat di propinsi Jawa Timur.

Menurut saya, selain cara-cara di atas, bagi saya pribadi perlu juga ditempuh dengan pemberian pemahaman mengenai pendidikan multikultural. Yakni, pentingnya sikap saling memahami, menghormati dan bersinergi dalam kebaikan. Dan tidak sebaliknya, saling mencurigai dan memusuhi.

Diskriminasi termasuk dalam katagori perbuatan mencurigai dan mungkin memusuhi. Karenanya, sikap saling memahami dan mengenal penting ditanamkan semenjak dini melalui pendidikan. Pluralisme dan multikulturalisme tidak seharusnya ditolak sebab hal itu mengajarkan sikap saling memahami dan menghormati meski berbeda.

Harapan kami hanyalah supaya pemerintah peduli, adil, dan responsif. Lebih penting dari itu semua adalah pemerintah perlu segera merubah segala peraturan perundang-undangan yang masih mendiskriminasi warga etnis apapun, khususnya terhadap etnis Tionghoa. Juga, perlu memegang motto dalam memberi pelayanan kepada masyarakat, yaitu kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit?[] Keasingan dan ketidak-tahuan akan sesuatu cenderung menimbulkan rasa curiga dan takut. Secara naluri, perasaan ini menimbulkan sifat ingin bertahan. Seringkali orang menterjemahkan bahwa pertahanan yang terbaik adalah menyerang. Tentu saja kita tidak mau hal seperti ini terjadi di antara etnis di Indonesia. Dengan penerbitan buku ini, penulis berharap bahwa etnis Tionghoa tidak terlalu menjadi mahluk asing di Indonesia sehingga apa yang seperti di prediksikan oleh Huntington, S. P. (2003, p. 28) dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of the World Order
Penutup
Perang pengaruh antara kedua negara memang terasa apalagi semenjak Asia dihantam krisis. AS (IMF) pun turut mengambil kesempatan dengan menawarkan bantuan-bantuan ke negara-negara yang dihantam krisis seperti Indonesia, Korsel, Thailand, dsb. Namun unik bahwa Cina dan Malaysia menolak bantuan tersebut dengan alasan mereka bisa keluar dari krisis dengan kekuatan sendiri. Hal inilah yang kurang dari negeri kita dibanding Cina, Indonesia yang memang diakui kita tidak mungkin bisa keluar dari krisis tanpa IMF (baca AS).
Kita hanya bisa bernostalgia bagaimana Presiden Soekarno dengan lantang berkata “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika !”, “Go to hell USA”. Maka tidaklah heran bahwa sebagian masyarakat kita bangga dengan Soekarno yang berhasil mengobarkan semangat nasionalisme yang kuat di negeri kita. Sekarang semua itu hanya menjadi kenangan belaka mengingat negeri kita bukan saja dilanda krisis ekonomi dan politik, tetapi juga krisis identitas diri. Banyak propinsi ingin melepaskan diri dari kesatuan RI. Tidak kurang Aceh dan Papua (dulu Irian) ingin memerdekakan diri mengikuti mantan saudaranya yaitu Timor Timur.
Nasionalisme hanyalah merupakan slogan semata bukan merupakan gaya hidup di negeri kita. Berbeda dengan RRC yang diakui terlalu otoriter tetapi nasionalisme terasa begitu kuat di negeri tirai bambu. Mungkin ada benarnya PM Mahatir Mohammad mengatakan : “Demokrasi ala barat bukan menuju negeri kita tambah jaya tetapi kepada kehancuran belaka.” Jadi demokrasi semacam apa yang harus kita laksanakan ? Pertanyaan itu baiklah kita lemparkan kepada elite-elite politik kita yang terus bertikai satu sama lain.
Sepertinya negeri kita masih belum berdewasa dalam berpolitik dan berdemokrasi. Sekarang rakyat pun menjadi bingung bagaimana harus memilih. Maka tidaklah heran jika mereka pada akhirnya berpikir : “Orde Baru mungkin lebih baik dari Orde Reformasi”, tetapi sebaiknya kita berhati-hati dalam menanggapi pikiran tersebut.
Akhir kata saya mempunyai pesan hanya satu. “Otoriter tetap berguna jika ada nasionalisme yang kuat, dibandingkan demokrasi tetapi tanpa nasionalisme.Tetapi justru akan lebih baik dan sempurna jika demokrasi terdapat nasionalisme yang kuat.” Ungkapan tadi diucapkan lantaran saya mungkin teman-teman sebangsa & setanah air sudah cape melihat keadaan negeri kita.