:: SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM BATAK

1 komentar

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM BATAK


Oleh :

Natalia Juliana Surya

NPM 0720005042


Dikutip dari infokito™ di/pada 27 Mei 2008

Pendidikan di peradaban Batak bukanlah sesuatu yang baru. Institusi “partungkoan” bisa dikatakan sebuah media yang sudah dikenal sejak dahulu kala sebagai cara untuk meneruskan ilmu pengetahuan dan sarana pengembangan sosial bagi generasi muda berikutnya.

Sejak pertama kali kedatangan Islam ke tanah Batak melalui tanah Batak pesisir, Barus, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting saat itu. Melihat konstelasi politik di pesisir dan tanah Batak yang berubah-ubah disinyalir bahwa sistem pendidikan Islam di tanah Batak juga berubah-ubah.
Seperti diketahui, ada dua aliran besar yang pernah memasuki tanah Batak. Pertama adalah kalangan Sunni dengan empat mazhabnya: Syafii, Maliki, Hambali dan Hanafi. Namun nampaknya pengaruh mazhab maliki tidak terlalu nampak dalam kedudayaan Islam di tanah Batak. Satu aliran lain adalah dari golongan syiah yang paling kuat menancapkan pengaruhnya di tanah Batak.

Bisa dikatakan bahwa syiahlah yang pertama sekali membentuk sistem pendidikan keagaaman di tanah Batak melalui Barus, pantai barat sumatera dan porsea dan kota-kota Batak lainnnya yang dialiri sungai asahan, dimana sumber airnya berasal dari danau Toba.

Sistem pendidikan syiah tersebut, merupakan sistem tyang lazim dipakai di negeri-negeri Islam di tanah Arab saat itu. Perlu diketahui bahwa Universitas Al Azhar merupakan istitusi pendidikan tertua yang didirikan oleh kaum syiah. Salah satu sisa dari kejayaan syiah di tanah Batak adalah praktek tasawuf dan tarekat yang masih diamalkan oleh tetua Batak di pedalaman Batak. Sistem tarekat ini terkenal dengan sistem pembelajaran yang menggunakan kelambu. Pusat-pusat pengembangannya adalah di tanah Batak selatan, Barus dan lain sebagainya. Orang-orang dari tanah Batak utara biasanya akan pergi ke daerah-daerah tersebut untuk menimba ilmu dan mengamalkannya di kampung halaman masing-masing dengan istilah “mangaji“.

Pengaruh dari Hanafi dibawa oleh warga muslim Cina yang banyak datang berdagang di kawasan Batak Simalungun. Namun, sistem yang dibawa oleh kalangan Cina tersebut menyatu dengan sistem yang dibawa oleh orang-orang Persia, yang syiah sehingga sampai sekarang tidak terlalu terasa pengaruhnya. Sistem pendidikan hanafi menekankan kepada kemampuan analisa akal yang dibarengi oleh arguentasi-argumentasi dari kitab suci. Di pedalaman Batak, sistem ini ternyata sangat manjur karena kurangnya kesempatan mereka untuk kontak dengan ulama atau da’i yang tidak selalu datang untuk meng-upgrade atau memberi solusi atas masalah-masalah dan pengetahuan mereka ke desa-desa mereka yang terisolir.

Sistem pendidikan hambali yang ditandai atas kepatuhan dan kejuhudan serta penghormatan terhadap tradisi nabi mulai diterapkan saat masuknya orang-orang Padri ke tanah Batak. Sementara itu sistem syafii, yang menekankan hukum-hukum fiqih, baru terasa belakangan saat hubungan antara penduduk Batak dengan dunia luar sudah sangat minim akibat penjajahan Belanda. Paska kemerdekaan, sistem syafii ini pula yang banyak diberlakukan.

Yang dimaksud dengan sistem syafii adalah sistem pendidikan yang diterapkan oleh kalangan muslim yang bermazhab syafii di seluruh dunia. Begitu juga dengan sistem lainnya. Kalangan syafii, khusunya di Indonesia, menekankan pembelajaran kepada tokoh dan individu yang dianggap mahir dalam ilmu fiqih. Sehingga masalah dan ilmu pengetahuan apapunm yang akan mereka hadapi akan didasarkan kepada paradigma berpikir fiqhiyah.

Kalangan hambali lebih menekankan jalur hadits dan al-Quran, sedangkan kalangan hanafi lebih menekankan kemampuan filosofi dan ilmu kalam. Sementara itu kalangan syiah, sebagai sistem pendidikan yang paling tua di tanah Batak lebih menekankan kepada kemampuan memahami fenomena dunia melalui tarekat dan suluk. Agama parmalim di tanah Batak diyakini merupakan sistem kepercayaan tradisional Batak yang banyak dipengaruhi oleh cara berpikir tarekat dan suluk yang banyak berkembang di Barus pada awal-awal masuknya Islam. Istilah malim sendiri, yang berarti seorang yang dianggap parmalim, sama-sama dipakai oleh kalangan Islam dan Parmalim paska pengkristalan kepercayaan ini menjadi sebuah agama, juga berarti seorang yang alim dan dekat dengan Tuhan.

Walaupun begitu, semua sistem pendidikan tersebut, bisa saja memakai cara yang sama ketika berhadapan dengan masalah-masalah sehari-hari. Misalnya semua sistem terbut akan menggunakan ilmu hisab, ilmu hayat dan al jabar serta ilmu-ilmu lainnya untuk menangani hal-hal yang dianggap masalah duniawiyah.

Berikut adalah angka tahun pendidikan Islam di tanah Batak. Yang meliputi tanah Batak pedalaman yang sering disebut pusat tanah Batak atau Batak utara, Barus, Mandailing, Angkola atau Batak selatan, Gayo, Simalungun, Karo dan kawasan Batak di sekitar sungai Asahan sampai ke hilir sungainya di sumatera bagian timur.

633-661 M

Disinyalir pemerintahan Khulafa’ Al Rasyidin telah menjalin hubungan dengan beberapa kerajaan di Sumatera, termasuk Batak. Tapi hubungan itu masih sekedar hubungan antar negara dalam sebuah upaya untuk menjalin hubungan kerjasama ekonomi. Kapur barus, emas, merica dan rempah-rempah lainnya. Sumatera dikenal dengan istilah Zabag. Beberapa catatan mengenai kedatangan utusan dan pelaut muslim ke Barus dan pelabuhan sumatera lainnya yang dikuasasi Sriwijaya pernah didokumentasikan.

661-750

Pelaut-pelaut Arab yang Islam mulai berdatangan secara intens di masa pemerintahan Dinasti Umayyah. Kedatangan mereka untu misi dagang tersebut telah membentuk kantong-kantong muslim di tanah Batak, khususnya Barus, yang tentunya terjadinya transfer ilmu pengetahuan kepada penduduk setempat melalui medium non-formal.

718-726

Islam berkembang pesat di tanah Barus. Di lain pihak Islam berkembang di Sumatera masuknya beberapa raja Sriwijaya kepada Islam. Diantaranya Sri Indra Warman di Jambi.

730

Pedagang Arab di pesisir Sumatera mendapat persaingan dari pedagang Cina yang sangat aktif menyebarkan agama buddha mahayana. Kerajaan-kerajaan buddha dengan Sriwijaya-nya menjadi kekuatan yang sangat kuat menguasai sebagian besar pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara. Diyakini orang-orang Sriwijaya ini juga berhasil memasukkan ajaran Buddha ke komunitas Batak khusunya yang di Mandailing.

851

Seorang pedagang Arab berhasil mendokumentasikan kedatangannya di kota Barus. Laporan Sulaiman itu pada tahun 851 M membicarakan tentang penambangan emas dan perkebunan barus (kamper) di Barus (Ferrand 36).

Disinyalir bahwa para pendatang asing seperti Romawi, Yunani, Arab, Cina, India, Persia dan dari kepulauan Indonesia lainnya telah membangun kantong-kantong pemukiman yang lengkap dengan prasarana pendukungnya di Barus. Penambangan emas dan perkebunan kamper tersebut merupakan contoh bahwa kedua komoditas ini telah diolah secara modern dan bukan didapat secara tradisional di hutan-hutan.

Sekarang ini ahli sejarah menemukan bukti-bukti arkeologis yang memperkuat dugaan bahwa sebelum munculnya kerajaan-kerajaan Islam yang awal di Sumatera seperti Peurlak dan Samudera Pasai, yaitu sekitar abad-9 dan 10, di Barus telah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Muslim dengan kehidupan yang cukup mapan (Dada Meuraxa dalam Ali Hasymi, Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Indonesia, bandung PT Al Ma’arif 1987). Kehidupan yang mapan itu pula memungkinkan mereka untuk hidup secara permanen di kawasan ini yang sudah pasti didukung oleh sarana pengembangan ilmu pengetahuan agar mereka tidak tertinggal dengan pesaing lainnya.

Sebagai pelabuhan yang sangat masyhur, Barus menjadi tujuan pendidikan tertua bagi masyarakat Batak. Hal ini dikarenakan bahwa Barus merupakan wilayah Batak yang paling mudah dicapai oleh orang-orang Batak dari pedalaman yang ingin menimba ilmu. Jalan-jalan menuju Barus telah dirintis rapi oleh pedagang-pedagang Batak yang ingin menjual kemenyan dan membeli produk jadi dari Barus. Sampai era tahun 1980-an, madrasah-madrasah tradisional Barus masih menjadi primadona tujuan pendidikan di tanah Batak sebelum akhirnya digantikan oleh Mandailing dengan pesantren-pesantrennya yang sudah modern.

Masuknya gelombang pedagang dan saudagar ke Barus mengakibatkan penduduk lokal Batak di lokasi tersebut; Singkil, Fansur, Barus, Sorkam, Teluk Sibolga, Sing Kwang dan Natal memeluk Islam setelah sebelumnya beberapa elemen sudah menganutnya. Walaupun begitu, mayoritas masyarakat Batak di sentral Batak masih menganut agama asli Batak.

Kelompok Marga Tanjung di Fansur, marga Pohan di Barus, Batu Bara di Sorkam kiri, Pasaribu di Sorkam Kanan, Hutagalung di Teluk Sibolga, Daulay di Sing Kwang merupakan komunitas Islam pertama yang menjalankan Islam dengan kaffah.

900

Ibnu Rustih kurang lebih pada tahun 900 M menyebut Fansur, nama kota di Barus, sebagai negeri yang paling masyhur di kepulauan Nusantara (Ferrand 79). Sementara itu tahun 902, Ibn Faqih melaporkan bahwa Barus merupakan pelabuhan terpenting di pantai barat Sumatera (Krom 204).

Sambil berdagang, para saudagar-saudagar Batak, marga Hutagalung, Pasaribu, Pohan dan Daulay biasanya akan memberikan ceramah dan majlis pendidikan kepada penduduk Batak pedalaman. Tradisi ini masih berlangsung sampai era 1980-an di negeri Rambe, Sijungkang dan lain sebagainya. Di daerah Bakkara, komunitas yang aktif dalam pendidikan Islam adalah kalangan Marpaung sejak abad-15. Pembelajaran secara cuma-cuma dan gratis ini bisa diartikan sebagai taktik dagang untuk mendekatkan mereka dengan penduduk setempat.

976-1168

Paham syiah mulai datang ke daerah Barus. Hal itu karena ekspansi perdagangan Dinasti Fatimiyah Mesir.

1128-1204

Kota Barus, dan beberapa daerah Batak lainnya seperti Gayo pernah direbut oleh Kesultanan Daya Pasai, dengan rajanya Kafrawi Al Kamil. Ekspanasi ini terlaksana dengan motif monopoli perekonomian. Sistem pendidikan yang lebih sitematis dari kalangan syiah menjadi marak di Barus dan daerah Batak lainnya. Kalangan intelektual Batak mulai unjuk gigi. Khususnya mereka kawin campuran dengan pedagang asing dari Arab, India dan Persia. Namun penguasaan pihak Aceh tersebut berlangsung hanya sementara. Di Barus kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi penguasa tunggal menjadi kesultanan Batak muslim yang sangat kuat. Kesultanan ini mempunyai aliansi yang kuat dengan Aceh, khusunya Singkel dan Meulaboh.

Kerajaan Batak Hatorusan yang menjadi penguasa di Barus dan pesisir Sumatera bagian barat sejak abad sebelum masehi tidak tampak hegemoninya. Disinyalir keturunannya menjadi raja-raja huta di Sorkam dengan penduduknya yang bermarga Pasaribu. Pada abad ke-16, Kerajaan Hatorusan ini muncul kembali dengan naiknya Sultan Ibrahimsyah Pasaribu menjadi Sultan Barus Hilir. Dinasti Pardosi kemudian dikenal sebagai Sultan Barus Hulu.

Persaingan politik antar mereka membuat kedua kesultanan ini sering berpecah. Sultan di Hulu lebih dekat kepada Aceh dan yang di Hilir lebih dekat kepada Minang. Minang dan Aceh sendiri merupakan dua kekuatan yang saling berkompetisi dalam memperebutkan pengaruh di Barus. Baik pada saat mereka Islam maupun Buddha dan Hindu.

Kalangan intelektual Arab mulai berdatangan ke Barus. Ekspor kapur barus meningkat tajam seiring dengan meningkatnya permintaan. Barus menjadi rebutan banyak kekuatan asing dan lokal. Pada permulaan abad ke-12, seorang ahli geografi Arab, Idrisi, memberitakan mengenai ekport kapur di Sumatera (Marschall 1968:72). Kapur bahasa latinnya adalah camphora produk dari sebuah pohon yang bernama latin dryobalanops aromatica gaertn. Orang Batak yang menjadi produsen kapur menyebutnya hapur atau todung atau haboruan.

Beberapa istilah asing mengenai Sumatera adalah al-Kafur al-Fansuri dengan istilah latin Canfora di Fanfur atau Hapur Barus dalam bahasa Batak dikenal sebagai produk terbaik di dunia (Drakard 1990:4) dan produk lain adalah Benzoin dengan bahasa latinnya Styrax benzoin. Semua ini adalah produk-produk di Sumatera Barat Laut dimana penduduk aslinya adalah orang-orang Pakpak dan Toba (Associate Prof. Dr Helmut Lukas, Bangkok 2003).

1275-1292

Orang-orang Hindu Jawa mulai unjuk gigi dengan Ekspedisi Pamalayu kerajaan Singosari. Beberapa daerah Batak dijadikan menjadi kerajaan Hindu, khususnya yang di Simalungun. Pihak Hindu Jawa yang menggantikan kekuatan Buddha mengancam perdagangan saudagar-saudagar muslim yang didukung oleh Kesultanan Daya Pasai dengan beberapa sekutunya seperti Kesultanan Samudera Pasai, Kesultanan Kuntu Kampar, Aru Barumun, Bandar Kalipah dan lain-lain.

1285-1522

Kesultanan Samudera Pasai mulai tampak ke permukaan dengan raja pertamanya Sultan Malik Al Shaleh, seorang putera Batak Gayo, bekas prajurit Kesultanan Daya Pasai. Samudera Pasai berdiri di atas puing-puing kerajaan Nagur di sungai Pasai, yang dirobohkan oleh orang Batak Karo.

Uniknya, kesultanan ini telah memakai paham syafii yang menjadi kompetitor terhadap syiah yang sudah lama menancapkan kekuatan politik dan budayanya kepada masyarakat Indonesia. Sistem pendidikan ala syafii mulai masuk ke tanah Batak.

Kesultanan Samudera Pasai sekarang ini dikenal sebagai kesultanan Aceh karena secara geografis memang terletak di tanah Aceh. Namun sebagai sebuah kesultanan yang dibangun oleh maha putera Batak Gayo dari Nagur, posisinya tidak dapat dihilangkan dalam percaturan sistem budaya dan pendidikan di tanah Batak.

Kerabat Sultan Malik Al Shaleh, yakni Syarif Hidayat Fatahillah merupakan tokoh yang mendirikan kota Jakarta dan menjadi Sultan Banten (Emeritus) dan ikut serta mendirikan Kesultanan Cirebon. Dia, yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, adalah tokoh yang berhasil menyelamatkan penduduk pribumi dari amukan bangsa Portugis.

Sultan Malik Al Shaleh sendiri lahir di Nagur, di tanah Batak Gayo. Dia adalah mantan prajurit Kesultanan Daya Pasai. Sebuah kerajaan yang berdiri di sisa-sisa kerajaan Nagur atau tanah Nagur. Nama lahirnya adalah Marah Silu. Marah berasal dari kata Meurah yang artinya ketua. Sedangkan Silu adalah marga Batak Gayo.

Sepeninggalannya (1285-1296) dia digantikan oleh anaknya Sultan Malik Al Tahir (1296-1327). Putranya yang lain Malik Al Mansyur pada tahun 1295 berkuasa di barumun dan mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.

Malik Al Mansyur sangat berbeda keyakinannya dengan keluarganya yang sunni. Dia adalah penganut taat syiah yang kemudian menjadikan kesultanannya sebagai daerah syiah. Dengan demikian dia dapat dijadikan sebagai tokoh Batak Syiah (Gayo). Semua ini dikarenakan karena dia menikah dengan putri Nur Alam Kumala Sari binti Sultan Muhammad Al Kamil, pemimpin di Kesultanan Muar Malaya yang syiah.

Kekuasaan Kesultanan Aru Barumun terletak di sekitar area sungai Barumun yang menjadi titik penting perdagangan antara Padanglawas sampai Sungai Kampar. Penghasilan negara didapat dari ekspor dan impor merica dan lain sebagainya.

Kesultanan Aru barumun berhubungan baik dengan pihak Cina pada era Dinasti Ming (1368-1643). Pada periode 1405-1425 beberapa utusan dari Cina pernah singgah, di antaranya Laksamana Ceng Ho dan Laksamana Haji Kung Wu Ping. Di era ini paham Hanafi ikut serta dalam memperkaya khazanah sistem pendidikan di tanah Batak, karena para utusan dari Cina yang muslim tersebut menganut faham hanafi dalam praktek sehari-hari.

Dinasti Batak Gayo di Kesultanan Barumun adalah sebagai berikut:

  1. Sultan Malik Al Mansyur (1299-1322)
  2. Sultan Hassan Al Gafur (1322-1336)
  3. Sultan Firman Al Karim (1336-1361), pada era nya banyak bertikai dengan kekuatan imperialis Jawa Majapahit. Di bawah panglima Laksamana Hang Tuah dan Hang Lekir, pasukan marinir Aru Barumun berkali-kali membendung kekuatan Hindu Majapahit dari Jawa.
  4. Sultan Sadik Al Quds (1361). Wafat akibat serangan jantung.
  5. Sultan Alwi Al Musawwir (1361-1379)
  6. Sultan Ridwan Al Hafidz (1379-1407). Banyak melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Cina
  7. Sultan Hussin Dzul Arsa yang bergelar Sultan Haji. Pada tahun 1409 dia ikut dalam rombongan kapal induk Laksamana Cengho mengunjungi Mekkah dan Peking di zaman Yung Lo. Dia terkenal dalam annals dari Cina pada era Dinasti Ming dengan nama ‘Adji Alasa’ (A Dji A La Sa). Orang Batak yang paling dikenal di Cina.
  8. Sultan Djafar Al Baki (1428-1459). Meninggal dalam pergulatan dengan seekor Harimau.
  9. Sultan Hamid Al Muktadir (1459-1462), gugur dalam sebuah pandemi.
  10. Sultan Zulkifli Al Majid. Lahir cacat; kebutaan dan pendengaran. Pada tahun 1469, kesultanan Aru Barumun diserang oleh kesultanan Malakka, atas perintah Sultan Mansyur Syah yang memerintah antara tahun 1441-1476. Kota pelabuhan Labuhanbilik dibumihanguskan dan Angkatan Laut Kesultanan Aru Barumun dimusnahkan.
  11. Sultan Karim Al Mukji (1471-1489)
  12. Sultan Muhammad Al Wahid (1489-1512). Gugur dalam pertempuran melawan bajak laut Portugis.
  13. Sultan Ibrahim Al Jalil (1512-1523) ditawan dan diperalat oleh Portugis.

Semua anggota dinasti di atas adalah bersuku Batak Gayo. Saat menurunnya kekuasaan Kesultan Aru, maka pihak Aceh mulai menancapka hegemoninya di Aru Barumun. Pihak Aceh berkompetisi dengan para bajak laut Eropa di kekosongan kekuatan politik di daerah tersebut.

Pada tahun 1802-1816, di bawah pimpinan Fachruddin Harahap, seorang Batak Mandailing, dengan gelar Baginda Soripada, penduduk khususnya dari Gunung Tua merebut bagian hulu dari bekas Kesultanan Aru Barumun. Semua lambang kerajaan disita termasuk cap dan simbol-simbol lainnya.

1331-1364

Era Majapahit. Hegemoni kekuatan Imperialisme Hindu Jawa di Nusantara, tak terkecuali tanah Batak. Perkembangan pendidikan di tanah Batak sedikit tidak mengalami penambahan yang signifikan. Kekuatan penduduk yang menjadi militer di tanah Batak sibuk membendung kekuatan Majapahit dengan bantuan pihak Aceh.

Panglima Mula Setia dan Samudera Pasai berhasil mengusir kekuatan Majapahit dari Sumatera bagian Utara. Pada tahun 1409, tentara Majapahit dimusnahkan oleh kekuatan tentara Pagarruyung di Minang, Sumatera Barat. Kekuatan Majapahit melemah.

1345

Kedatangan para intelektual Arab dan asing kembali terjadi di beberapa kota pelabuhan di Sumatera. Tidak terkecuali Barus. Pada abad-13 Ibnu Said membicarakan peranan Barus sebagai pelabuhan dagang utama untuk wilayah Sumatera (Ferrand 112).

1450-1515

Samudera Pasai menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan sosial mazhab syafii yang bersaing melawan pusat-pusat pendidikan dan sosial syiah yang banyak bertebaran di beberapa tempat di Sumatera termasuk tanah batak.

1451

Misi pedagang dari Malaka yang menjadi sekutu Samudera Pasai berhasil menjalin kerjasama ekonomi dengan para saudagar Batak di sepanjang sungai Asahan. Tokoh seperti Datuk Sahilan menjadi inspirator bagi saudagar Batak untuk masuk agama Islam (Syafii). Di pedalaman Batak pada tahun 1450-1500 M, Islam menjadi agama resmi orang-orang Batak Toba, khususnya dari kelompok marga Marpaung yang bermukim di aliran sungai Asahan. Demikian juga halnya dengan Batak Simalungun yang bermukim di Kisaran, Tinjauan, Perdagangan, Bandar, Tanjung Kasau, Bedagai, Bangun Purba dan Sungai Karang.

Antara tahun 1450-1818 M, kelompok marga Marpaung menjadi supplaier utama komoditas garam ke Tanah Batak di pantai timur. Mesjid pribumi pertama didirikan oleh penduduk setempat di pedalaman Tanah Batak; Porsea, lebih kurang 400 tahun sebelum mesjid pertama berdiri di Mandailing. Menyusul setelah itu didirikan juga mesjid di sepanjang sungai Asahan antara Porsea dan Tanjung Balai. Setiap beberapa kilometer sebagai tempat persinggahan bagi musafir-musafir Batak yang ingin menunaikan sholat. Mesjid-mesjid itu berkembang, selain sebagai termpat ibadah, juga menjadi tempat transaksi komoditas perdagangan.

Dominasi pedagang muslim marga Hutagalung dalam bidang ekonomi di Tanah Batak terjadi antara 1513-1818 M. Komunitas Hutagalung dengan karavan-karavan kuda menjadi komunitas pedagang penting yang menghubungkan Silindung, Humbang Hasundutan dan Pahae. Marga Hutagalung di Silindung mendirikan mesjid lokal kedua di Silindung. Marga Hutagalung menjadi komunitas Islam syiah di pedalaman Batak.

Abad 15-16

Barus dengan kepemimpinan Dinasti Pardosi yang menjadi Sultan Hulu dan Dinasti Pasaribu yang menjadi Sultan Hilir Barus, membangun sistem pendidikan yang modern di Barus. Zaman kejayaan pendidikan Islam muncul di era ini. Beberapa tokoh intelektual lokal bermunculan. Barus menjadi kota tujuan utama musafir asing.

Pada permulaan abad-16, Tome Pires-seorang pengembara Portugis- yang terkenal dan mencatat di dalam bukunya “Suma Oriental” bahwa Barus merupakan sebuah kerajaan kecil yang merdeka, makmur dan ramai didatangi para pedaganga asing.

Dia menambahkan bahwa di antara komoditas penting yang dijual dalam jumlah besar di Barus ialah emas, sutera, benzoin, kapur barus, kayu gaharu, madu, kayu manis dan aneka rempah-rempah (Armando Cartesao, The Suma Oriental of Tome Pires and The Book of Rodrigues, Nideln-Liechtenstein: Kraus Reprint Ltd,.1967; hal. 161-162).

Seorang penulis Arab terkenal Sulaiman al-Muhri juga mengunjungi Barus pada awal abad ke-16 dan menulis di dalam bukunya al-Umdat al-Muhriya fi Dabt al-Ulum al-Najamiyah (1511) bahwa Barus merupakan tujuan utama pelayaran orang-orang Arab, Persia dann India. Barus, tulis al-Muhri lagi, adalah sebuah pelabuhan yang sangat terkemuka di pantai Barat Sumatera.

Pada pertengahan abad ke-16 seorang ahli sejarah Turki bernama Sidi Ali Syalabi juga berkunjung ke Barus, dan melaporkan bahwa Barus merupakan kota pelabuhan yang penting dan ramai di Sumatera. (Lihat. L.F. Brakel, Hamza Pansuri, JMBRAS vol. 52, 1979).

Sebuah misi dagang Portugis mengunjungi Barus pada akhir abad ke-16, dan di dalam laporannya menyatakan bahwa di kerajaan Barus, benzoin putih yang bermutu tinggi didapatkan dalam jumlah yang besar. Begitu juga kamfer yang penting bagi orang-orang Islam, kayu cendana dan gaharu, asam kawak, jahe, cassia, kayu manis, timah, pensil hitam, serta sulfur yang dibawa ke Kairo oleh pedagang-pedagang Turki dan Arab. Emas juga didapatkan di situ dan biasanya dibawa ke Mekkah oleh para pedagang dari Minangkabau, Siak, Indragiri, Jambi, Kanpur, Pidie dan Lampung. (Lihat B.N. Teensma, “An Unkown Potugese Text on Sumatera from 1582″, BKI, dell 145, 1989.

Syair-syair Hamzah Fansuri menggambarkan keindahan kota Barus saat itu. Keramaian dan kesibukan kota pelabuhan dengan pasar-pasar dan pandai emasnya yang cekatan mengubah emas menjadi “ashrafi”, kapal-kapal dagang besar yang datang dan pergi dari dan ke negeri-negeri jauh, para penjual lemang tapai di pasar-pasar, proses pembuatan kamfer dari kayu barus dan keramaian pembelinya, lelaki-lelaki yang memakai sarung dan membawa obor yang telah dihiasi dalam kotak-kotak tempurung bila berjalan malam.

Gadis-gadis dengan baju kurung yang anggun dan di leher mereka bergantung kalung emas penuh untaian permata, yang bila usia nikah hampir tiba akan dipingit di rumah-rumah anjung yang pintu-pintunya dihiasi berbagai ukiran yang indah.

Pada bagian lain syair-syairnya juga memperlihatkan kekecewaanya terhadap perilaku politik sultan Aceh, para bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim. (Mengenai kesusateraan Hamzah Fansuri lihat S.N. al-Attas, The Origin of Malays Sha’ir, Kulala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1968. Juga baca V.I. Braginsky, Tasawuf dan Sastra Melayu, Jakarta: RUL,. 1993, khususnya esai “Sekali Lagi Tentang Asal-usul Sya’ir”; hal 63-76.

Hamzah Fansuri yang hidup di masa perebutan kekuatan maritim antara Aceh dan Minang mendapat pengaruh besar di kalangan intelektual Aceh. Van Nieuwenhuijze (1945) dan Voerhoeve (1952) berpendapat bahwa Hamzah Fansuri memainkan peran penting di dalam kehidupan kerohanian di Aceh sampai akhir pemerintahan Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1590-1604).

Sementara itu muridnya Syamsuddin al-Sumatrani naik peranannya baru pada zaman Sultan Iskandar Muda saat dia bermigrasi ke Aceh. Diyakini dalam mundurnya pamor Barus, banyak sarjana-sarjana Batak yang pindah ke Aceh, Kutaraja, karena kehadiran mereka disana sangat disegani. Mengenai Syamsuddin sebaiknya baca C.A.O. Niewenhujze, Syamsu’l Din van Pasai, Bijdrage tot de Kennis der Sumatranche Mystiek, disertasi Universitas Leiden, 1945.

Namun pemikiran filsafat Wujudiyah Hamzah Fansuri mendapat tantangan dari ulama Aceh. Ahmad Daudy di dalam bukunya Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin Ar-Raniry, Jakarta; CV Rajawaki Press, 1983; hal. 41, antara lain menulis, “Selain sebagai mufti, Syeikh Nuruddin juga seorang penulis yang menyanggah Wujudiyah. Seringkali ia mengadakan perdebatan dengan penganut ajaran ini, dan kadang-kadang majelis diskusi diakadakan di istana dimana sultan sendiri menyaksikannya.

Dalam perdebatan itu Syeikh Nuruddin berkali-kali memperlihatkan adanya kelemahan dan penyimpangan dalam ajaran Wujudiyah…., serta meminta agar mereka ini bertobat… tetapi himbauannya tidak dihiraukan mereka, dan akhirnya mereka dihukum kafir yang boleh dibunuh, sedangkan kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin dikumpulkan dan kemudian dibakar di halaman mesjid raya Baiturrahman.”

Tentang peristiwa pembakaran kitab karangan penulis Wujudiyah, dan hukum bunuh terhadap pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, Lihat buku Nuruddin al-Raniry, Bustan al-Salatin edisi T. Iskandar, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1966: hal. 46.

Perlakuan itu diterima Hamzah Fansuri, karena kritik-kritik tajamnya terhadap pemerintahan monolitik Sultan Aceh, perilaku buruk orang-orang kaya dan praktik yoga (dari Hindu India) yang diamalkan ahli-ahli tarekat di Aceh pada awal abad ke-17, baca S.N. al-Attas The Mysticism of Hamzah Fansuri, Kuala Lumpur: Universiti malaya Press, 1970; hal. 16-17. juga baca L.F. Brakel, ‘Hamzah Pansuri’; V.I. Braginsky “Puisi Sufi Perintis Jalan” (Analisis Syair-syair Hamzah Fansuri tentang Kekasih, Anggur dan Laut”) ceramah di Sudut Penulis, Dewan Bahasa dan Pusataka, Kuala Lumpur, 27-28 Oktober 1992; juga Abdul Hadi W.M. ‘Syeikh Hamzah Fansuri ‘Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. V, 1994.

Akibat pertentangan politik antara Barus dan Aceh, berakibat pula kepada pertentangan faham keyakinan. Intelektual Barus yang banyak condong ke paham syiah dibasmi oleh kekuatan Aceh sehingga menyebabkan kemunduran atas kemajuan pendidikan di Barus. Dikatakan bahwa orang-orang yang mendukung faham Fansur bahkan harus hidup dalam persembunyian untuk menyelamatkan jiwa mereka. Kuburan-kuburan tokoh yang sepaham dengannya sengaja tidak ditandai batu nisannya agar keberadaan mereka tidak terdeteksi oleh pihak Aceh yang penduduknya banyak berdagang di Barus.

Para sarjana Batak yang berpaham syiah mengalami kendala dalam melanjutkan sistem pendidikan di Barus yang sudah sangat modern saat itu. Praktis pendidikan di Barus dan wilayah-wilayah Batak lainnya mengalami kepunahan. Di tanah Batak sendiri hanya Parmalim yang terus eksis.

1497-1513

Panglima Manang Sukka, oranga Batak Karo, mendirikan Kesultanan Haru Delitua dengan nama Sultan Makmun Al Rasyid.

1697

Universitas Islam Ulakan, Pariaman, Sumatera Barat, menjadi pusat pengembangan Islam syiah dengan tokoh Syekh Burhanuddin. Pengaruh universitas ini sampai ke tanah Natal, Singkuang, teluk Sibolga dan Barus. Sumatera Barat menjadi tujuan mencari ilmu pengetahuan bagi orang-orang Batak

1804-1807

Dominasi sistem pendidikan berbasis syiah yang sedikit dicampur dengan faham syafii dan hanafi mendapat kompetisi dari mazhab hambali yang muncul di Sumatera Barat dengan gerakan padrinya.

1873

Sebuah mesjid di Tarutung, Silindung, dirombak oleh Belanda. Haji-haji dan orang-orang Islam, kebanyakan, dari marga Hutagalung, diusir dari tanah leluhur dan pusaka mereka di Lembah Silindung. Belanda melakukan pembersihan etnis, terhadap muslim Batak.

1912

Perkembangan Islam, yang tidak diperbolehkan Belanda untuk mengecap pendidikan, walau paska kebijakan balas budi, kemudian bangkit mendirikan Perguruan Mustofawiyah. Disinyalir sebagai sekolah pribumi pertama di tanah Batak yang sudah modern dan sistematis. Peran mazhab syafii mulai terlihat.

Haji Mustofa Husein Purba Baru, dari marga Nasution, merupakan penggagas perguruan ini. Dia, yang dikenal sebagai Tuan Guru, merupakan murid dari Syeikh Muhammad Abduh, seorang reformis dan rektor Universitas Al Azhar.

Lulusan perguruan Musthofawiyah ini kemudian menyebar dan mendirikan perguruan-perguruan lain di berbagai daerah di Tanah Batak. Di Humbang Hasundutan di tanah Toba, alumnusnya yang dari Toba Isumbaon mendirikan Perguruan Al Kaustar Al Akbar pada tahun 1990-an setelah mendirikan perguruan lain di Medan tahun 1987. Daerah Tatea Bulan di Batak Selatan merupakan pusat pengembangan Islam di Sumut.

Pada tahun 1928, di tanah Batak selatan mulai memodernisasi sistem pendidikan oleh para sarjana Batak yang belajar dari berbagai universitas di luar negeri. Di antaranya Maktab Ihsaniyah di Hutapungkut Kotanopan oleh Muhammad Ali bin Syeikh Basyir. Maktab merupakan transformasi partungkoan, sebuah sistem pendidikan tradisional Batak yang berubah menjadi sikola arab dan madrasah di era berikutnya. (lihat: Pesantren Musthofawiyah Purba Baru Mandailing, Dr. H. Abbas Pulungan, Cita Pustaka Media Bandung, 2004).

Para lulusan Maktab Islamiyah Tapanuli mendirikan “Debating Club” pada tahun 1928. Dua tahun kemudian anggota “Debating Club” ikut serta dalam mendirikan Jamiatul Washliyah sebuah organisasi pendidikan dan sosial di Sumatera Utara.

Diniyah School didirikan di Botung Kotanopan tahun 1928 oleh sarjana Batak lainnya, Haji Fakhruddin Arif. Berikutnya berdiri Madrasah Islamiyah di Manambin Kotanopan tahun 1928 oleh Tuan Guru Hasanuddin.

1929

Madrasah Subulussalam berdiri di Sayur Maincat Kotanopan pada tahun 1929 oleh Haji Muhammad Ilyas. Berikutnya Madrasah Syariful Majalis di Singengu Kotanopan pada tahun 1929 oleh Haji Nurdin Umar. Di Hutanamale, Maga, Kotanopan Syeikh Juneid Thala mendirikan sebuah Madrasah Islamiyah pada tahun yang sama.

1930

Orang-orang Batak mendirikan Jamiatul Washliyah pada tanggal 30 November 1930. Sebuah organisasi yang bertujuan untuk mengembangkan agama dalam arti yang luas. Organisasi ini memakai mazhab syafii.

Nama Jamiatul Washliyah berarti perkumpulan yang hendak menghubungkan. Menurut Muhammad Junus, tokoh paling penting dalam organisasi ini, nama Jamiatul Washliyah dihubungkan dengan keinginnan untuk menghubungkan manusia dengan Tuhannya, menghubungkan antar sesame manusia, menghubungkan suku dengan suku antara bangsa dengan bangsa dan lain sebagainya. Lihat “Peringatan Al Djamiatul Washliyah 1/4 abad” hal 41-42; Nukman Sulaiman dalam Al Washliyah I, hal. 5.

Tiga tokoh penting dalam organisasi Al Washliyah adalah Abdurrahman Syihab, seorang organisatoris yang dapat menghimpun khalayak ramai, Udin Syamsuddin, seorang yang ahli administrasi dan Arsyad Thalib Lubis, mufti organisasi.

1933

Pembentukan komisi yang bertugas mengadakan inspeksi ke sekolah-sekolah Alwashliyah untuk standarisasi mutu. Didirikan juga sebuah lembaga pendidikan yang besar di Tapanuli Selatan.

1934

Penyusunan peraturan yang mengatur hubungan antar sekolah di Alwashliyah.

1935

Pada tahun ini Madrasah Mardiyatul Islamiyah didirikan di Penyabungan oleh Syeikh Ja’far Abdul Qadir. Sebelumnya, sejak tahun 1929, madrasah ini dikenal dengan nama madrasah mesjid karena kegiatan pendidikannya dilakukan di sekitar sebuah mesjid sebelum dimodifikasi menjadi sistem madrasah.

1936

Orang-orang Batak mendirikan Fond atau Yayasan untuk mengirimkan beberapa generasinya, khususnya yang di Alwashliyah, ke Mesir

1937

Jamiatul Washliyah memberikan perhatian khusus pada pemahaman Islam khusunya mereka yang belum beragama. Di Porsea didirikan HIS untuk mereka yang membutuhkan pendidikan. Melalui lembaga “Zending Islam” perkumpulan ini berinisiatif untuk berdakwah ke seluruh Indonesia.

1940

Modernisasi pendidikan Islam Batak, khususnya yang di Alwashliyah dengan menyusun peraturan pusat untuk mengadakan ujian dan pemberian ijazah yang dikeluarkan kantor pusat di medan.

1945

Sistem pendidikan modern diterapkan di tanah Batak. Banyak madrasah dan tempat pengajian tradisional diubah menjadi tsanawiyah dan aliyah dibawah departemen agama. Negatifnya adalah, institusi pendidikan di tanah Batak menjadi kerdil. Institusi yang bermutu yang lulusannya bisa ditandingkan dengan lulusan universitas modern akhirnya hanya diakui sebagai lulusan madrasah aliyah yang pengakuannya sangat minimal di tengah-tengah masyarakat. Banyak desa-desa di tanah Batak (khususnya yang utara) ditinggalkan oleh penduduknya yang muslim karena ketiadaan regenerasi kalangan pendidik.*** [

Wallahua’lam

***Rujukan

Komentar

Dari sejarah pendidikan Islam Batak tersebut, menurut saya dari kutipan artikel yang saya baca juga dapat mempengaruhi perkembangan pesantren dimana Sejarah pesantren awal, bahkan sampai pertengahan abad ke-20, tidak dapat dipisahkan dari literatur kitab kuning. Tanpa keberadaan dan pengajaran kitab kuning, suatu lembaga pendidikan tidak dapat disebut sebagai pesantren. Dalam konteks ini, Wahid[1] bahkan menyatakan bahwa kitab kuning telah menjadi salah satu sistem nilai dalam kehidupan pesantren. Karena itu, pembelajaran dan pengkajian kitab kuning sangat dipentingkan dan merupakan ciri khas pembelajaran di seluruh pesantren. Dalam kurun waktu yang sangat lama, kitab kuning tidak hanya menjadi pusat orientasi, tetapi telah mendominasi studi keislaman pesantren dan mewarnai praktik keagamaan dalam berbagai dimensi kehidupan umat Islam.
Ketika ‘arus’ modernisasi pendidikan Islam mulai memasuki Indonesia, kedudukan literatur keagamaan klasik tidak ‘serta merta’ berubah. Pesantren tampak bersifat selektif terhadap gagasan-gagasan pembaharuan pendidikan Islam, terutama berkaitan dengan literatur keagamaan atau muatan pendidikannya. Pada awalnya, sebagaimana dikemukakan Steenbrink,
[2] respon pesantren terhadap kemunculan sekolah dan kelembagaan pendidikan Islam modern (madrasah), adalah sebagai ‘menolak dan mencontoh’. Dalam hal-hal tertentu, pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian (seperti sistem perjenjangan dan klasikal) untuk mendukung eksistensi dan kontinuitasnya. Tetapi dalam hal literatur keagamaan dan kurikulum pendidikan, pesantren tampaknya tetap konsisten dalam mengembangkan kajian keislaman yang merujuk pada literatur kitab kuning. Demikianlah, dalam waktu yang relatif lama, pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan Islam yang konsisten mempertahankan kitab kuning, tidak hanya dikaji, tetapi juga dilestarikan. (http://suluk-batak.blogspot.com/2008/04/sejarah-pesantren-al-mukhtariyah.html )

:: RESPONSIVITAS INSTITUSI PENDIDIKAN

0 komentar

RESPONSIVITAS INSTITUSI PENDIDIKAN
DALAM PELAYANAN PUBLIK
DI TANAH PAPUA

assilo2003@yahoo.com
HP. 08124806050

Seiring dengan muatan kewenangan yang dikandung oleh Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor : 32 Tahun 2004, dan kini telah memasuki implementasi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua, maka kebijakan pemba-ngunan Kabupaten/Kota se Provinsi Papua diarahkan pada empat titik krusial, mencakup sektor : pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat, dan infrastruktur perhubungan. Dalam bidang pendidikan, implementasi kebijakan pemerintah kabupaten/kota masih diperhadap-kan pada situasi problematik yang amat serius. Di satu pihak ada keinginan yang sangat kuat untuk meningkatkan mutu sumberdaya manusia terdidik dan terampil, tetapi di lain pihak daya dukung institusi pendidikan ke arah itu ternyata tidak cukup kuat. Walau keinginan memajukan sektor pendidikan telah dibangun atas dasar dengan komitmen politik peme-rintah daerah yang telah termanifestasikan ke dalam berbagai bentuk kebijakan dan program, tetapi ternyata belum memperoleh respon dukungan optimal dengan tindakan administratif dan manajemen institusi pada tataran birokrasi pendidikan.
Sesungguhnya pemerintah dan masyarakat telah terbawa arus perubahan lingkungan strategik, tetapi memerlukan tanggapan (responsiveness) reaktif ke arah pergeseran struktur-fungsi dan peran yang sesuai, proporsional dan harmonis. Peran dominan pemerintah akan bergeser dari operasi langsung di semua sektor strategis kepada kondisi yang bersifat meng-arahkan (steering), memberdayakan (empowering) melalui serangkaian kebijakan. Peran-peran utama, dengan demikian tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemerintah, tetapi mulai dipencarkan kepada puncak-puncak kekuatan di masyarakat. Ketika terjadi penyeragaman Tata Pemerintahan Daerah di Indonesia, maka segala kepentingan daerah di desain dengan flatform sentralistik yang dipaksakan. Ternyata flatform tersebut tidak mampu mengakomodir secara efektif dan efisien perubahan-perubahan dinamis di daerah. Konsep dan model desain pendidikan yang trade-mark, ternyata mengalami distorsi yang hebat di era reformasi bersamaan dengan terbangunnya kesadaran baru yang memberi pengakuan formal terhadap kemampuan dan kewenangan daerah.
Memasuki era otonomisasi di Provinsi Papua, telah mengemuka kembali keinginan dan tuntutan perlunya pemikiran yang luas tentang peningkatan mutu pendidikan terutama bagi Orang Papua. Menurut keterangan pertanggung-jawaban Gubernur Provinsi Papua, Tahun 2004 bahwa sebagian besar kualitas sumberdaya manusia di Papua masih belum memadai. Lebih dari 79,4 % penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), masih berpendidikan SLTP ke bawah. Dengan kondisi ketenaga kerjaan yang demikian itu, akan sulit menangkap peluang usaha dan menciptakan lapangan kerja. Apalagi jika diperhadapkan pada per-saingan yang kian ketat dengan profesionalitas yang tinggi.
Faktor penyebab dari munculnya fenomena tersebut adalah masih buruknya layanan publik di bidang pendidikan. Ketersediaan guru yang belum memadai, prasarana dan sarana pendidikan yang minim, persebaran pusat-pusat layanan pendidikan yang tidak merata, masih langkanya buku-buku pelajaran, dan tidak menyatunya visi-misi pendidikan yang di-citakan dan diemban oleh para elit birokrasi, merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap rendahnya pelayanan publik. Bila faktor-faktor pengaruh tersebut dieliminir, maka akan terarah pada aspek responsivitas. Dengan demikian, dapat dilacak agregasi pengaruh dari masih rendahnya mutu dan jumlah sumberdaya manusia di Tanah Papua sebagai faktor responsivitas. Respon tersebut terinstitutionalisasi dalam struktur birokrasi pendidikan. Hal ini berarti, bahwa birokrasi pendidikan di Tanah Papua memerlukan responsivitas terhadap keseimbangan ekologis tidak saja dari dimensi politiknya, tetapi juga dimensi-dimensi sosial-budaya, ekonomi, geografis, dan teknologi. Tepatlah jika Frederickson (2005) menyebut-kan bahwa “these changes could be summed-up in this irony–in the past 30 years social equity has grown in importance in public administration at the same time that in virtually all aspects of social, economic and political life”. Sejalan dengan itu, Pemerintah Propinsi Papua dan Kabupaten/Kota se Papua, telah mengarahkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia agar mampu merubah sikap, orientasi dan pola pikir untuk bertindak secara profesional, mandiri dan mampu bersaing di era globalisasi. Bahkan dalam era otonomi khusus ini, proses pendidikan memperhatikan keragaman kebutuhan/keadaan daerah dengan memperbesar muatan lokal. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan mengembangkan pola dan sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik spesifik Papua, seperti pendidikan berpola asrama.
Kini, fenomena birokrasi pendidikan di Tanah Papua sedang diperhadapkan pada tantangan IEnorm (Norma internal dan eksternal). Tantangan internalnya adalah adaptasi model birokrasi menurut norma-ganda berdasar pada Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 dan Undang-undang nomor 32 Tahun 2005 yang harus mampu mempertinggi kinerja birokrasi pendidikan. Sementara itu, tantangan eksternalnya bersangkut paut dengan urusan publik yang harus mampu memperluas jangkauan dan mempertinggi mutu layanan publik. Osborne dan Gaebler (1992) menyebutkan bahwa birokrasi dapat menekuni misinya yang selama ini terabaikan, yaitu empowering dan enabling institutions satuan-satuan sosial masyarakat, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. North (1990), mengindikasikan bahwa : aturan-aturan main dalam suatu masyarakat terbentuk dari interaksi yang dibangun di antara mereka dan institusi-institusi yang ada mereducenya ke dalam struktur.
Disadari bahwa, dominasi peran pemerintah dalam mengembangkan struktur birokrasi pendidikan yang responsif, masih terus dikritisi dan terus menjadi ajang diskursus yang menarik. Kegagalan demi kegagalan yang dialami selama ini, selain disebabkan oleh faktor-faktor yang disebutkan di atas, juga karena masih adanya miskonsepsi dalam memandang eksistensi kewenangannya tanpa tatanan model birokrasi yang tepat, juga terjadi malpraktek karena ketidak jelasan visi, misi, tugas dan fungsi yang harus diemban. Kecenderungan faktualnya adalah bahwa gerak adaptif birokrasi pendidikan di Tanah Papua terkendala oleh : Pertama, kian menjamurnya distorsi pemahaman tentang visi dan misi pendidikan. Kedua, lahirnya dualisme acuan tata pemerintaan. Ketiga, merebaknya kendala struktur-fungsi birokrasi.
Berbagai pengalaman lapangan yang menarik cenderung mengungkapkan sejumlah kegagalan birokrasi yang terkotak-kotak itu dalam memaksimalkan layanan publik. Survey Pendapat Umum yang dilaksanakan pada 2002/2003 di Provinsi Papua oleh TNS/IFES/UNCEN, menyimpulkan bahwa layanan publik di bidang pendidikan masih terkendala oleh ketidak-memadaian : mutu dan jumlah guru serta fasilitas pendidikan, tenaga medis dan paramedis serta fasilitas keseha-tan, masyarakat masih termarginalisasi dari segi ekonomi, dan akses infrastruktur yang masih terbatas. Sementara itu, simpulan penelitian yang dilakukan atas kerjasama oleh UNDP-UNCEN (2005) bahwa kapasitas organisasi pemerintahan di Tanah Papua belum cukup kuat untuk memperbaiki kualitas rangka pelayanan publik.


1. Layanan Publik : Responsivitas Birokrasi Pendidikan
Era globalisasi yang dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh tantangan, aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memberikan layanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas layanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indikator dari keberhasilan institusi pendidikan sebagai sebuah organisasi birokrasi publik.
Birokrasi publik, pada dasarnya dihadirkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Meskipun birokrasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, tetapi dalam menjalankan misi, tujuan dan programnya menganut prinsip-prinsip efisiensi, efektivitas, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani secara optimal. Layanan publik, merupakan hak masyarakat yang pada dasarnya mengan-dung prinsip: kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggung-jawab, kelengkapan sarana, dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan keramahan, dan kenyamanan. Tangkilisan, (2005 : 224) menyebutkan bahwa birokrasi publik tidak berorientasi langsung pada tujuan akumulasi keuantungan, namun memberikan layanan publik dan menjadi katalisator dalam penyelenggaraan pembangunan maupun penyelenggaraan tugas negara. Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik.
Responsivitas sebagai salah satu indikator pelayanan berkaitan dengan daya tanggap aparatur terhadap kebutuhan masyarakat yang membutuhkan pelayanan sebagaimana diatur di dalam aturan perundangan. Sementara itu, Siagian (2000) dalam pembahasannya me-ngenai Teori Pengembangan Organisasi mengindikasikan bahwa responsivitas menyangkut kemampuan aparatur dalam menghadapi dan mengantisipasi aspirasi baru, perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru. Birokrasi harus merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam Keputusan Menpan No. 63/Kep./M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Layanan Publik, disebutkan bahwa layanan publik oleh pemerintah dibedakan menjadi tiga kelompok layanan administratif, yaitu : Pertama, kelompok layanan yang menghasilkan bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik; Kedua, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik; Ketiga, kelompok layanan yang menghasilkan berbagai jasa yang dibutuhkan oleh publik. Layanan publik dalam hal ini dipahami sebagai segala kegiatan yang dilaksanakan oleh institusi pendidikan dalam rangka pencerdasan masyarakat sebagai pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, paling tidak terdapat tiga pelaku yaitu : pembuat kebijakan, penyedia/pelaksana layanan publik, dan penerima layanan. Dalam sistem pemerintahaan dominan, perumus dan pelaksana layanan publik dilakukan oleh pemerintah, dan masyarakat sebagai penerima layanan (Susanto : 2005). Tetapi, pelayanan publik oleh birokrasi seharusnya digerakkan oleh visi dan misi pelayanan, namun pada kenyataannya justru digerakkan oleh peraturan dan anggaran yang tidak dimengerti oleh publik karena tidak disosialisasikan secara transparan (Dwiyanto, 2002 : 84).
Pada kenyataannya, keinginan mewujudkan layanan publik secara optimal, tidak dapat dijalankan dengan baik karena birokrasi tidak cukup responsif terhadap dinamika semakin menguatnya kemampuan masyarakat, baik melalui mekanisme pasar maupun mekanisme organisasi sosial kemasyarakatan memungkinkan birokrasi meredefinisikan kembali misinya. Pengalaman membuktikan bahwa birokrasi yang dikendalikan dari jauh hanya menghasilkan penyeragaman yang seringkali tidak cocok dengan situasi dan kondisi pada variabilitas antar daerah. Banyak program pemerintah gagal memperoleh dukungan penuh dan partisipasi masyarakat karena karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi daerah. Perbedaan kultural, geografis, dan ekonomis melahirkan kebutuhan yang berbeda dan menuntut program-program pembangunan yang berbeda pula.
Pandangan yang sejalan, dikemukakan oleh Susanto (2005), dalam tulisannya tentang Manajemen Layanan Publik, bahwa layanan publik yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintah dinilai kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan khalayak, sebagai 'konsumen' mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk organisasi birokrasi, sehingga birokrasi selalu mendapat pengertian yang negatif. Selain itu, penyedia layanan masih belum patuh kepada ketentuan baku yang dibuatnya sendiri dalam menjalankan tugasnya. Penyimpangan dari ketentuan yang telah ditetapkan acapkali tanpa adanya konsekuensi pengenaan sanksi. Terjadinya berbagai penyimpangan dalam pemberian layanan publik dapat disebabkan oleh : Pertama, para birokrat yang bertanggungjawab pada penyelenggaraan layanan publik masih terpaku pada paradigma lama dengan semangat pangreh praja yang masih melekat; Kedua, peraturan atau ketentuan yang berlaku mengandung banyak lubang (loopholes) atau kelemahan yang mendorong terjadinya penyimpangan; Ketiga, pengguna jasa layanan publik juga sering memanfaatkan kelemahan peraturan dan ingin menempuh jalan pintas; Keempat, pengguna jasa masih berada pada posisi yang lemah. Kumorotomo (2005 : 7) Ada beberapa hal yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa selama ini banyak kebijakan, program, dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi kepada kekuasaan dan bukannya kepada kepentingan publik. Birokrat menempatkan dirinya sebagai penguasa. Budaya paternalistik seringkali juga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan publik. Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dengan yang dikehendaki oleh rakyat. Dalam pandangan lain, aspek perubahan politik ikut berpengaruh pada derajat layanan publik, sebagaimana disinggung oleh Peters, B. Guy (1984) :
At least three of the old chestnuts that have guided our thinking about the public service ini the process of governance are simply no longer as canonical as they once were. The first of these principles is the assumption of an apolitical civil service, and associated with it is the politis-administration dichotomy and the concept of “neutral competence” within the civil service. A second significant change in assumption about government relevant to this discussion is a decline in assumption of hierachical and rule-based management within the public service, and in the outhority of civil servants to implement and eforce regulations outside of public service. The third change in the assumptions about governance and the public bureaucracy concerns the permanence and stability of the organizations within government.
Dilulio, 1994 dalam Dwiyanto (2002:60), menekankan bahwa responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Selanjutnya, dalam studinya tentang reformasi birokrasi, Dwiyanto (2002 : 60-61), mengembangkan beberapa indikator responsivitas pelayanan publik, yaitu : keluhan pengguna jasa, sikap aparat birokrasi dalam merespon keluhan pengguna jasa, penggunaan keluhan pengguna jasa sebagai referensi perbaikan layanan publik, berbagai tindakan aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan, dan penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku.

2. Problematika Organisasi dalam merespon layanan pendidikan
Sebagai suatu organisasi publik yang sarat dengan kompleksitas fungsi dan tugas, Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua menghadapi sejumlah masalah yang tidak pernah tuntas pemecahannya. Fenomena pendidikan yang seringkali menjadi wacana publik dan diperdebatkan adalah tidak optimalnya layanan pendidikan yang harus diberikan kepada masyarakat. Padahal, kehadiran birokrasi pendidikan dimaksudkan sebagai instumen untuk menghantar masyarakatnya ke arah yang cerdas dan unggul. Walaupun disadari bahwa kondisi umum mengenai inertia birokrasi, tetapi birokrasi pendidikan di Papua terkon-disikan dalam situasi problematik yang berbeda dan khas. Adalah wajar jika Imawan (1992) menjadi sangat dramatis mempertanyakan mengapa jaringan birokrasi yang dikenal saat ini demikian “kusut” hingga kurang responsif terhadap persoalan yang berkembang dalam masyarakat ? Padahal, ide birokrasi itu justru untuk menyederhanakan kompleksitas urusan dalam masyarakat modern. Salah satu fenomena menarik yang dikonstatir adalah bahwa kesadaran masyarakat yang mulai tumbuh dan berkembang sejalan dengan demokratisasi pemerintahan, terhambat oleh struktur birokrasi. Inertia birokrasi pendidikan Papua yang khas itu, lebih didominasi oleh tarik-menarik kewenangan antar pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, serta antara pihak intansi teknis dan pihak sekolah.
Dwiyanto dan Kusumasari (2001) membuat pernyataan yang menggelitik tentang public service fermormance dalam Policy Brief CPPS Gadjah Mada University Nomor 01/PB-E/2001 : The public service were originally designed to respond to the public’s need. In reality however, the history of bad public service performance in Indonesia makes it a priority for the government to improve it’s relations with the public. If done succesfully, this would in turn widen the government’s public lagitimacy. Sementara itu dalam tulisannya pada Policy Brief CPPS Gadjah Mada University Nomor : 7/PB-E/2003, Selanjutnya, diindikasikan bahwa : One of the causes of the poor public service performance is the complexity of the structure of bureaucracy. The public service bureaucracy often does not have sufficient authority to complete the process serving the public within its own institution. Completing the process of public service often requires the involvement of other institutions.
Pasang surut kinerja birokrasi pendidikan di Papua sangat ditentukan oleh dinamika eksternal dan internalnya. Artinya, responsivitas kebijakan dan strategi pendidikan bergan-tung pada dukungan vital dari : Pertama, konsistensi dan kesamaan cara pandang antara Pemerintah daerah, unit-unit sekolah, dan masyarakat; Kedua, garansi kapasitas organisasi internal dalam konteks capacity building, mencakup : pola anutan doktrin kelembagaan, sifat kepemimpinan, supporting sumberdaya, kelayakan program, dan fleksibilitas struktur organisasi pendidikan. Secara teoritik, kelemahan-kelemahan birokrasi pendidikan di Papua dalam rangka merespon tuntutan pelayanan publik dapat dieliminir melalui pemanfaatan model pendekatan pemecahan masalah yang memiliki relevansi dan koherensi dengan ekologisnya yang khas. Agar sesuai dengan realitas sebab-akibatnya, perlu dikembangkan sejumlah variabel dan indikator lokal atas kesepakatan stakeholders-pendidikan dan didasarkan atas hasil pengkajian akademis.
Upaya-upaya remedies dari serangkaian kondisi fenomenologis birokrasi pendidikan di Papua dalam kaitannya dengan layanan publik, menuntut adanya hasil diagnostik yang akurat dan reliabel dengan instrumen pendekatan pemecahan masalah yang berkelayakan dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah-praktis. Penyertaan karakteristik ekologi lokal sebagai variabel penting dalam analis menjadi bagian penting dari internalisasi faktor-faktor lokal dalam birokrasi pendidikan di Papua. Hal tersebut didukung oleh beberapa pandangan konseptual, misalnya Kimberly dan Rottman dalam Gibson et.al. (1995), menyebutkan bahwa lingkungan, teknologi, pilihan strategi, proses, dan kultur adalah faktor-faktor yang menentukan keefektifan suatu organisasi. Hardjito dalam Tangkilisan, 2005 :150), mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh komponen-komponen organisasi yang meliputi : struktur, tujuan, manusia, hukum, prosedur pengoperasian yang berlaku, teknologi, lingkungan, kompleksitas, spesialisasi, kewenangan, dan pembagian tugas. Sunoto (1992), yang menulis tentang aspek manusia dalam analisis organisasi dalam buku suntingan Effendi, dkk (1992 : 223), menyinggung budaya sebagai metafora bagi analisis organisasi, di mana metafora kebudayaan berakar dariasumsi bahwa suatu organisasi merupakan shared meanings dan interpretive scheme yang mengandung unsur-unsur bahasa, norma-norma, nilai-nilai, ideologi, keyakinan, dongeng, yang merupakan dasar dan refleksi perilaku organisasi. Hal ini berarti, di dalam organisasi itu solusi telah diterima begitu saja (taken for granted). Apa yang awalnya dihipotesiskan oleh seorang anggota kelompok, didukung oleh nilai atau dugaan yang lama kelamaan diperlakukan sebagai kenyataan atau jalan keluar. Osborne dan Platrik (2000 : 256-257), menyarankan metode untuk mengubah budaya birokrasi yang bersifat negatif, dengan 4(empat) strategi, yaitu : memperjelaas tujuan organisasi, menciptakan konsekwensi kinerja, menciptakan pertanggung jawaban organisasi terhadap pelanggan; dan menggeser tempat dan bentuk kontrol.
Agenda reformasi birokrasi pendidikan secara menyeluruh di Papua sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi modern harus dapat diarahkan kepada perwujudan birokrasi sebagai pelayan masyarakat yang efisien, efektif, terpadu, terjangkau, transparan dan akuntabel. Untuk itu perlu menata kembali birokrasinya yang memungkinkan terjadinya internalisasi kaitan-kaitan ekologis, sehingga dapat menampakkan suatu format birokrasi yang berwajah “kepapuaan”. Maka, dalam rangka mengatasi hambatan birokrasi, salah satu gagasan yang dikembangkan adalah menyusun organisasi secara lebih kenyal dengan model Pertama : mission-type organization yang memfokuskan perhatian pada pencapaian sasaran tertentu secara jelas dan nyata; dan Kedua, matrix organization yang mudah dibongkar pasang, terdiri dari komponen-komponen profesional yang ditata dalam berbagai kombinasi menurut keperluan.
Implikasinya bagi analisis desain model Birokrasi Pendidikan adalah : Pertama, mempertimbangkan adanya jalur hubungan “segi-tiga” (pemerintah-sekolah-masyarakat); Kedua, memahami dan mendalami aspek-aspek tradisi-budaya, sosial, dan politik yang mewarnai hubungan-hubungan itu; Ketiga, memaknai batas-batas kewenangan masing-masing sehingga tidak terjadi overlapping atau justru memunculkan kerumitan baru; Keempat, menelusuri batas-batas kewenangan otonomi pendidikan, sehingga ditemukan model keseimbangan yang serasi; Kelima, menjustifikasi struktur organisasi yang diharapkan dapat merefleksikan responsivitas layanan publik dan keberpihakannya pada masyarakat.
Untuk kepentingan itu, dikembangkan model kerangka dasar hubungan birokrasi pendidikan dan responsivitas layanan publik, di mana hubungan-hubungan variabel yang ditelaah menjadi lebih nampak pada gambar tersebut, di mana variabel-variabel hukum, budaya, politik, sosial, dan ekonomi dijadikan sebagai faktor penentu bagi pertumbuhan dan perkembangan model birokrasi Papua yang responsif terhadap layanan publik prima. Pada gambar di atas, diperlihatkan adanya gap antara harapan dan kenyataan, di mana responsivitas birokrasi Papua dikerangkakan sebagai “tidak optimal dan masih jauh dari idealisasi harapan”. Penyebabnya adalah kontribusi 5 variabel ekologis dominan yang belum maksimal.

Sektor pendidikan ternyata masih terkendala oleh berbagai faktor, terutama pada tataran penerjemahan komitmen politik menjadi kebijakan strategis dan taktis serta pada tataran implementasi di hampir semua intitusi teknisnya. Tak urung yang tampak adalah responsitivas lamban dan bersifat semu semata sehingga hanya dapat mengembangkan produk pendidikan yang mengecewakan. Kendala responsivitas tersebut, pada dasarnya dipicu oleh renggangnya hubungan institusi pendidikan dan birokrasi pemerintahan. Konsekwensi logisnya dapat dirujuk pada resistensi terhadap kebijakan pendidikan. Walaupun akhir-akhir ini muncul fenomena baru yang mewacanakan orientasi hasil sebagai parameter penting dalam menilai keberhasilan pendidikan.
Kendati pendekatan yang berorientasi pada hasil cenderung menunjukkan capaian nilai, tidak berarti bahwa cerita dalam dunia pendidikan akan menggembirakan. Terbukti kemu-dian, banyak issu-issu penting yang membutuhkan perhatian ketika ditelaah dengan pende-katan orientasi proses. Kelemahan responsivitas institusi pendidikan, dapat diidentifikasi de-ngan indikasi bahwa pada tataran implementasi kebijakan, sektor pendidikan mengalami hambatan struktural yang justru bermula dari pusat kebijakan tertinggi di pemerintahan.
Agenda Masalah
Kemampuan Pemerintah Daerah dalam menanggapi secara cepat dan tepat terhadap berbagai permasalahan pendidikan adalah suatu tuntutan di era otonomi daerah, mengingat bahwa Pemerintah Daerah memiliki kewenangan yang cukup untuk mengambil sikap dan tindak kebijakan yang koheren dan relevan dengan aspirasi masyarakatnya. Tetapi faktanya, sikap dan tindak bijak itu masih mengandung bias masalah yang memerlukan perhatian serius. Sejumlah permasalahan yang terungkap dalam hasil survey penulis tentang Goverment Decentralization bekerjasama dengan UGM Yogyakarta -- laporan ditulis pada Tahun 2004 --, bahwa sesungguhnya faktor-faktor yang cukup signifikan berdampak pada capaian hasil adalah : derajat perhatian pemerintah derajat hubungan kerja, manajemen keluhan, respon layanan, dukungan pembiayaan, dukungan staf dan dukungan infrastruktur.
1. Derajat Perhatian Pemerintah
Masalah mendasarnya adalah derajat perhatian pemerintah terhadap sektor pendidikan. Terbukti sebagaimana data yang diterakan pada Gambar 1, di mana terhadap pertanyaan yang diajukan :

“Bagaimana perhatian Bupati/Walikota dan DPRD di bidang pendidikan”, menghasilkan opini responden bahwa legislatif (DPRD Kabupaten/kota) lebih concern dalam dunia pendi-dikan daripada eksekutif (Bupati/Walikota). Bahkan kecenderungannya, perhatian pihak eksekutif justru dinilai kurang memadai. Temuan ini cukup mengejutkan karena sesungguh-nya Bupati/Walikota telah menempatkan sektor pendidikan sebagai prioritas kebijakan pembangunannya. Kesalahan yang terjadi bukan pada sisi kebijakannya, tetapi lebih pada responsivitas institusi dalam mengimplementasikan kebijakan itu.
2. Derajat Hubungan Pemerintah dan Layanan
Ketakberdayaan sekolah mengakses kesempatan untuk turut serta dalam proses pengambilan keputusan kebijakan pendidikan adalah wajah lain dari dunia pendi-dikan di Provinsi Papua. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menjelaskan hal ini adalah forum-forum pertemuan antara Dinas Pendidikan dan Kepala Sekolah untuk membahas hal-hal seperti : kemajuan belajar siswa, pengembangan sekolah, dan proses belajar mengajar, yang tidak terlalu intensif. Bahkan sebagian terbesar responden berpendapat bahwa forum-forum pembahasan seperti itu menyatakan pendapatnya antara : “tak pernah” sampai “kadang-kadang” saja dilakukan. Demikian halnya dengan dengan derajat layanan Dinas Pendidikan kepada para Kepala Sekolah di wilayahnya.

Padahal, forum-forum yang demikian itu sesungguhnya sangat dibutuhkan dalam rangka pemecahan masalah secara dialogis dan demokratis. Forum pembahasan juga dapat berfungsi sebagai ajang sosialisasi ide/gagasan atau arah kebijakan dalam dunia pendidikan. Lebiih dari itu, forum ini dapat juga difungsikan sebagai instumen dalam rangka KISS (Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, Simplikasi) berbagai kegiatan. Oleh karena forum-forum pertemuan institusional yang dilakukan dengan frekwensi yang sedikit itu, maka dapat dipastikan akan banyak dijumpai kesenjangan opini, sikap, dan perilaku kebijakan. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan fenomena lain seperti derajat layanan Dinas Pendidikan kepada Sekolah-sekolah di wilayahnya yang merujuk pada kondisi layanan tergolong rendah. Data pada Gambar 2 sekaligus membuktikan bahwa Dinas Pendidikan Kabupaten/kota di Papua tidak responsive terhadap kebutuhan sekolah.
Dampak yang mungkin terjadi kemudian adalah mandegnya visi pengembangan sekolah, sehingga pogram yang direncanakan oleh Manajemen Sekolah menjadi terbeng-kalai, terjadinya hambatan struktural dalam proses pembelajaran siswa, terjadinya stagnasi kemajuan belajar siswa sehingga prestasi belajar siswa secara agregat menjadi terganggu. Program yang direncanakan oleh Sekolah menjadi terbengkalai karena kebijakan pendidikan tidak dapat direspon dengan baik oleh Manajemen sekolah, adanya apatisme Manajemen Sekolah terhadap dinamika masyarakat karena tidak menganggap sebagai bagian dari kebijakan yang harus disukseskan, seringkali terjadi duplikasi kebijakan dari intitusi yang berbeda sehingga membingungkan manajemen sekolah dan masyarakat, sistem informasi Sekolah tidak dapat mendeteksi kondisi faktual sehigga terjadi kegagalan dalam melakukan monitoring dan pelaporan kegiatan.
3. Manajemen Keluhan
Kelambanan institusi pendidikan dalam merespon animo atau keluhan masyarakat, telah meningkatkan frekwensi kritikan, baik secara langsung maupun melalui media massa. Misalnya, tentang kelambanan penyediaan sarana pendidikan dan bantuan pendidikan bagi siswa yang tak mampu. Keluhan dan kritikan yang disampaikan oleh masyarakat kepada Sekolah, dan Sekolah kepada Dinas Pendidikan, terutama berkenaan dengan kebijakan yang ditetapkan, deviasi implementasi kebijakan, kontrol yang lemah. Hal ini sekaligus merupakan signal buruk bagi pengembangan pendidikan yang demokratis di masa men-datang. Pengembangan pendidikan di bawah kewenangan otonomi daerah, membutuhkan partisipasi dan dukungan semua pihak.
Data sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3, menjelaskan bahwa keluhan kepada institusi pendidikan (Dinas Pendidikan dan Sekolah) pada level kategori “seringkali” dengan frekwensi yang cukup tinggi, tetapi sebaliknya justru direspon dengan tidak memuaskan.

Keluhan-keluhan yang disampaikan kebanyakan hanya ditampung begitu saja tanpa ada penyelesaian secara terencana. Dapat dipahami jika opini responden tentang banyaknya keluhan berkorelasi dengan tingginya ketidak puasan terhadap Institusi Pendidikan. Seyogyanya institusi pendidikan (sekolah dan Dinas Pendidikan) hingga ke pusat-pusat kebijakan pemerintahan seharusnya memiliki kepekaan aspirasi dan kepedulian pada kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang berkualitas. Tetapi, sangat mengherankan karena institusi Pendidikan justru kurang tanggap dalam merespon keluhan tersebut. Akibatnya, dapat dipastikan bahwa keluhan akan kian meningkat.
4. Dukungan Pembiayaan, Staff, dan infrastruktur
Salah satu kebijakan institusi pendidikan yang tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat tetapi malahan lebih merespon kepentingan elite birokrasi, misalnya ada-lah kebijakan tentang penyediaan dan layanan anggaran pendidikan. Kebijakannya dirumuskan dengan tujuan dan sasaran yang jelas, yakni untuk kepentingan masyarakat, tetapi dalam prakteknya banyak siswa miskin yang tak memiliki kesempatan memperoleh beasiswa justru dinikmati oleh anak-anak pejabat. Terjadi ketidak-adilan dalam pemberian insentif belajar siswa. Pada konteks ini, responsivitas bersinggungan dengan rasa keadilan dan transparansi.
Ketika hal ini dirujukkan pada tingkat kebutuhan sekolah, maka keprihatinan baru mulai muncul karena ter-jadinya perbedaan dan ketidak adilan respons birokrasi pendidikan terhadap sekolah-sekolah binaannya. Adanya klasifikasi sekolah menurut “mutu ?” sesuai jenjangnya, menimbukan keresahan bagi sekolah-sekolah yang merasa tidak diperhatikan dengan baik. Persebaran insentif pendidikan menjadi tak merata. Opini yang berkembang sesuai data Gambar 4, menunjukkan bahwa penyediaan dan layanan anggaran pendidikan pada umumnya direspon secara negatif, di mana sebagian besar responden berpendapat bahwa alokasi anggaran pendidikan dinilai “tidak mencukupi”, sementara itu layanan birokrasi terhadap anggaran sekolah dinilai “kurang cukup”.

Alokasi anggaran pendidikan yang dipandang tidak mencukupi itu, kian memperkuat asumsi-asumsi, bahwa : Pertama, dugaan awal bahwa perhatian pemerintah tidak cukup serius dalam membangun sebuah institusi pendidikan yang kapabel sebagai pusat-pusat pengkaderan putra bangsa. Kedua, alokasi anggaran telah tercukupi secara formal sebagai-mana tertuang dalam APBD Kabupaten/Kota, tetapi dalam hal pemanfatannya mengalami kendala “moralitas implementer”, misalnya : pembiasan sasaran dan prosedur kegiatan, pembiaran kebocoran yang korup, dan pembinalan oknum pelaku yang tak bertanggung jawab. Ketiga, adanya hambatan struktural dan legalistik, di mana terjadi kelambanan menindak lanjuti realisasi anggaran yang telah disetujui di dalam sidang APBD yang menyebabkan terhambatnya penyaluran anggaran ke sasarannya. Dalam banyak hal, ketiga asumsi di atas saling menunjang, dalam arti bahwa salah satu atau lebih dari satu atau semuanya, selalu menjadi kendala bagi upaya peningkatan respon dukungan pembiayaan dan layanan pendidikan di berbagai Kabupaten/Kota se Papua.

Secara detail, Gambar 5 menunjukkan bahwa kombinasi dari 3 indikator utama sektor pendidikan, yaitu : anggaran, staf (guru), dan infrastrukturnya mengalami ketidak cukupan yang sangat berarti. Jika dibandingkan ketiganya, maka sekali lagi “dukungan anggaran pendidikan” dapat dinilai paling parah.
Dalam hal dukungan penyediaan staf (guru), lebih dari separuh responden yang masih menyangkalnya. Hal ini berarti bahwa di beberapa sekolah tidak terjadi permutasian atau perekrutan baru dalam kurun waktu yang lama. Lebih parah lagi di daerah pedalaman, banyak sekolah yang tidak memiliki tenaga guru yang cukup. Pada aspek lain, program pengembangan dan pembinaan guru terabaikan, karena adanya kecenderungan yang tidak pedulian pada upaya meningkatkan kesejahteraannya. Sementara itu, dukungan pembenahan infrastruktur tampak lemah sesuai pernyataan dari hampir 80 % responden yang berpendapat “tidak” berarti. Infrastruktur yang dalam hal ini mencakup prasarana dan sarana pendidikan yang terasa masih memerlukan perhatian yang lebih serius, seperti : bangunan sekolah, perpustakaan, dan laboratorium.

LANGKAH SITUASIONAL YANG DITERAPKAN
Fakta-fakta yang terungkap di atas, mengindikasikan bahwa sejak awal diberlakukan-nya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor : 32 Tahun 2004, dan kini telah memasuki imp-lementasi Undang-undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua, birokrasi pendidikan di Kabupaten/Kota se Provinsi Papua masih mengalami banyak kendala dalam membangun kepedulian merespon aspirasi masyarakat. Karena itu responsivitas birokrasi pendidikan harus menemukan meta masalahnya sebagai masalah publik yang diagendakan dalam kerangka kerja membangun masa depan masyarakat Papua yang terdidik. Agenda tersebut, kemudian diterjemahkan dalam berbagai kebijakan dan program peningkatan mutu proses dan luaran pendidikan melalui pembahasan dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota.
Beberapa langkah-langkah penting yang dijalankan selama ini, dipandang memiliki sisi positif sekaligus sisi negatifnya bagi peningkatan rasa kepedulian para petinggi pemerin-tahan terhadap pentingnya pendekatan institusi diterapkan dalam rangka merespon tun-tutan masyarakat. Beberapa di antaranya yang cenderung bersifat negatif adalah : Pertama, Sistem pemusatan kewenangan kebijakan pendidikan di Kantor Dinas Pendidikan yang disertai dengan sistem pengelolaan keluhan dengan pendekatan loby hingga kekuatan otorisasi. Kedua, sistem pemusatan pembinaan institusi pendidikan yang diarahkan pada target-target monumental bagi pejabatnya, misalnya : prioritas pembinaan yang berlebihan pada sekolah unggulan yang cenderung mengabaikan ragam kebutuhan sekolah non-unggulan. Ketiga, pembentukan Komite Sekolah yang dalam prakteknya cenderung ber-fungsi seperti BP3 di masa lalu, dengan kewenangan yang luas bagi penghimpunan dana masyarakat.
Di sisi lain, diakui bahwa ada upaya positif yang dilakukan saat ini adalah adalah : Pertama, penerapan kebijakan bantuan teknis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang meliputi 3 aspek, yaitu : bantuan SPP, bantuan operasional pendidikan, dan bantuan UAS (ujian akhir sekolah). Jenis bantuan yang disebutkan terdahulu, diserahkan langsung kepada siswa atau orangtua siswa melalui Kepala Sekolah, sedangkan dua jenis bantuan berikutnya pengelolaannya diserahkan langsung kepada sekolah. Kedua, kebijakan Re-grouping sekolah dalam rangka peningkatan kualitas infrastruktur pendidikan. Ketiga, kebijakan insentif anggaran pendidikan yang langsung disalurkan kepada siswa dan masyarakat.

1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dan dengan memperhatikan kerangka teorinya, maka dapatlah disimpulkan bahwa :
Pertama. Pelayanan publik dibidang pendidikan belum dapat ditingkatkan menjadi “prima”, kerena dibutuhkan masih dibutuhkan birokrasi pendidikan yang mampu ber-adaptasi dengan dinamika perubahan lingkungan dan memahami kebutuhan masyarakat yang dilayani.
Kedua. Capacity building yang tidak konsisten dan tidak taat azas dari institusi birokrasi pendidikan di Tanah Papua telah menjadi faktor dominan bagi melemahnya kinerja birokrasi sehingga menjadi kehilangan gairah merespon kepentingan masyarakat
Ketiga. Faktor-faktor eksternal birokrasi seperti : hukum, adat-budaya, politik, sosial, dan ekonomi dan internal birokrasi seperti : doktrin, kepemimpinan, lembaga, sumberdaya, dan struktur organisasi, secara bersama-sama menjadi hambatan bagi upaya peningkatan derajat responsitas birokrasi.
Keempat. Model birokrasi pendidikan di Tanah Papua yang modern sesuai dengan dinamika perkembangan belum tersusun sebagai pilihan paradigma berbasis metapora budaya lokal.
Kelima, Derajat responsivitas elit pendidikan dan birokrasi pemerintahan belum optimal dalam implementasi, walaupun sudah dirumuskan dengan indahnya dalam kebijakan dan strategi pembangunan di bidang pendidikan.
2. REKOMENDASI ALTERNATIF KEBIJAKAN
Pertama, Berdasarkan asumsi bahwa Sekolah dan masyarakat sebagai inisiator utama kebi-jakan yang demokratis, maka dipandang perlu untuk mengaktifkan mekanisme perumusan kebijakan dengan memanfaatkan saluran informasi yang dimulai dari simpul masyarakat terkecil hingga pada level MEP (Manajemen Eksekutif Puncak) di Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Untuk itu perlu membentuk Policy Centre di lingkungan sekolah yang meli-batkan berbagai pihak. Kehadiran policy centre tidak berarti akan mengambil alih tugas dan fungsi Komite Sekolah, tetapi keduanya dapat dikoordinasikan sebagai unit-unit di bawah kewenangan Kepala Sekolah untuk mensuplai kebutuhan sekolah. Policy Centre, harus didukung oleh tenaga profesional yang memahami siklus kebijakan publik dan tata alir informasi, dan teknik pemecahan masalah di bidang pendidikan. Hal ini di-maksudkan untuk : a) lebih menguatkan Sekolah dalam melakukan bargaining dengan Dinas Pendidikan menyangkut pemenuhan kebutuhannya. b). mensuplai bahan kebijakan ke pusat kebijakan di tingkat Pemerintah Kab/Kota. c) mening-katkan keakurasian kebijakan Kepala Sekolah yang ditujukan kepada siswa dan masyarakat.
Kedua, Mendorong penguatan institusi kemitraan di bidang pendidikan (misalnya : Pusat Pengembangan dan Pengendalian Mutu Pendidikan). Institusi ini diberi ruang kontrol yang memadai terhadap penetapan kebijakan dan strategi pendidikan dan diberi akses dalam mempengaruhi kebijakan mengenai : anggaran, guru, infra-struktur. Hal ini dipandang penting sebagai pengimbang formal jika dapat di-regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah di setiap Kabupaten/Kota.
Ketiga, Pemetaan pendidikan dasar dan menengah secara berkesinambungan per tahun yang dapat mencerminkan konfigurasi animo masyarakat dan kesiapan institusi pendidikan serta penataan dan strukturisasi hubungan kerja antar dan inter insti-tusi pendidikan di dalam birokrasi pendidikan dan sekolah-sekolah sehingga men-jadi jelas. Untuk itu, maka dengan pendekatan mekanisme KISS, di tingkat Dinas Kab/Kota dibentuk CoPC (Coordination of Policy Centre) dengan sistem kerja yang diadopsi dari SAMSAT (Sistem Administrasi Manunggal satu atap).
Keempat, Pembentukan dan penguatan unit/satuan institusi pendidikan di tingkat distrik seperti KCD (Kantor Cabang Dinas), atau sejenisnya untuk mengatasi faktor arbitasi, sekaligus dapat meminimalisasi derajat keluhan masyarakat yang berdomisili jauh dari pusat pendidikan.
Kelima, Melalui mekanisme umpan balik, perlu dilakukan reorientasi kebijakan pendidikan yang nyata-nyata tidak memiliki nilai responsivitas memadai, dengan memperhati-kan aspek-aspek keadilan dan transparansi.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus dan Kusumasari. 2001. Public Service Performance dalam Policy Brief CPPS-Gadjah Mada University, Nomor : 01/PB-E/2001.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : Penerbit PSKK-UGM.
Frederickson, George H. 2005. The State of Social Equity in American Public Administration . American Society for Public Administration-Vol.28 No.3- March 2005. http://www.aspanet.org/scriptcontent/word/Accomplishments2005.doc
Gibson, James L., dkk, 1995. Organizations Behaviour Structure and Process. Homewood, Illinois : Richard D. Irwin Inc.
IFES. 2003. Survey Opini Publik Papua. Jakarta.
Komorotomo, Wahyudi. 2005. Akuntabilitas Birokrasi Publik Sketsa Pada Masa Transisi. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar.
Siagian, Sondang P. 2000. Teori Pengembangan Organisasi. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Silo, Akbar. 2005. Kinerja Pemerintahan Dalam Rangka Pelayanan Publik di Kabupaten Sarmi. Laporan Penelitian kerjasama UNDP dan UNCEN.
Silo, Akbar. Dkk. 2004. Penguatan Institusi Pendidikan yang Responsif. Policy Brief No. 19/PB/2004.. PSKK-UGM. Yogyakarta.
Sunoto, 1992. Aspek Manusia dalam Organisasi : Dasar Pemikiran dan Implikasi Metode Penelitian, dalam Effendi, dkk. 1992. Membangun Martabat Manusia, Peranan Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan. Jakarta :Penerbit Gadjah Mada University Press.
Susanto, Agus. 2005. Manajemen Pelayanan Publik. Makalah. Publikasi Internet : http://www.ombudsman.or.id/pdf/SO2.pdf
Osborene, David dan Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government) : Mentrasformasi Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik. Edisi Terjemahan. Jakarta : Penerbit Pustaka Binaman Pressindo.
Osborne, David dan Peter Plastrik (2000), Memangkas Birokrasi: Lima strategi menuju Pemerintahan Wira Usaha, Edisi Terjemahan. Penerbit PPM, Jakarta.
Pemerintah Provinsi Papua. 2003. Laporan Pertanggung Jawaban Gubernur di Hadapan Sidang DPRD Provinsi Papua.
Peter, B. Guy. 1984. American Public Policy. Franklin Watts, New York : Tulano University.
Tangkilisan, Hesel Nogi S. Drs. M.Si. 2005. Manajemen Publik. Jakarta : Penerbit PT.Grasindo.