:: ARTIKEL PROFESIONALISME GURU

ARTIKEL
PROFESIONALISME GURU DALAM MENGHADAPI GOLBALISASI
(Tugas Mata Kuliah Pendekatan Sistem Dalam Pendidikan)


Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. Sujarwo, M.S
2. Dr. Basrowi, M.Pd



Kelas A

1. Ernila Isneni (0720005014)
2. Vetri Yanti (0720005015)
3. Ida Nurlaila (0720005022)
4. Yufrariana (0720005107)



PROGRAM MAGISTER TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2008



ARTIKEL
PROFESIONALISME GURU DALAM MENGHADAPI GOLBALISASI

Pendidikan nasional dewasa ini dihadapkan pada empat krisis pokok, yakni kuantitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Lebih rinci Tilaar menyatakan bahwa ada tujuh masalah pokok dalam sistem pendidikan nasional, yaitu: (1) menurunnya akhlak dan moral peserta didik; (2) pemerataan kesempatan belajar; (3) masih rendahnya efisiensi internal sistem pendidikan; (4) status kelembagaan; (5) manajemen pendidikan yang tidak sejalan dengan pembangunan nasional; (6) sumber daya manusia yang belum profesional.
Beberapa permasalahan yang dari dulu sampai saat ini dihadapi sektor pendidikan, antara lain: pertama, pemerataan dan perluasan pendidikan dasar dan menengah; kedua, rendahnya mutu pendidikan; ketiga, relevansi pendidikan yang belum maksimal; keempat, manajemen pendidikan yang masih rendah; dan kelima, pembiayaan pendidikan yang belum memadai.

Pendidikan nasional juga dihadapkan pada beberapa masalah: (1) pendidikan belum secara terencana dan sistematik diberdayakan untuk berfungsi dan mencapai tujuan pendidikan nasional secara optimal; (2) pendidikan nasional sebagai wahana sosialisasi dan pembudayaan berbagai warisan budaya bangsa, nilai-nilai kebudayaan nasional, dan nilai-nilai yang dituntut oleh masyarakat global yang dikuasai oleh iptek dan persaingan global, belum sepenuhnya terlaksana; (3) pendidikan nasional yang sudah dilaksanakan secara merata belum berhasil mengembangkan insan pembangunan yang mampu mengolah dan mengelola sumber daya alam, mengelola modal, mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditas yang mutunya mampu bersaing dan mampu mengembangkan sistem perdagangan; (4) pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria, dan patriotik.

Pada persaingan globalisasi saat ini, ada beberapa problematika pendidikan nasional yang dihadapi oleh bangsa kita, antara lain adalah sebagai berikut :
1. Dalam rumusan kebijakan dinyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai alat pembangunan nasional, namun dalam realitas terlihat bahwa kebijakan pendidikan masih cenderung sebagai alat kekuasaan yang belum menjadi prioritas pembangunan.
2. Paradigma pendidikan baru dapat dikatakan berhasil jika dapat memenuhi kepentingan dan harapan kekuasaan, bukan pada tuntutan perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan serta kebutuhan masyarakat yang kompetitif.
3. Tugas utama pendidikan dirumuskan bukan sebagai perintis masa depan yang mengacu pada prinsip-prinsip profesionalitas, tetapi sebagai usaha mewariskan masa lalu (status quo) dan berada pada ruang kegiatan rutinitas belaka.
4. Anggaran pendidikan khususnya untuk kebutuhan kegiatan pembelajaran di sekolah yang bersumber dari APBD kabupaten/kota dan provinsi maupun yang bersumber dari APBN relatif masih kecil, meskipun dalam UUD 1945 yang telah diamandemen ditentukan anggaran pendidikan minimal 20% dari keseluruhan APBN.
5. Kebijakan perubahan kurikulum tidak diuji atas dasar kebutuhan (need assessment) di lapangan, tetapi atas dasar kajian, perkiraan, dan kemauan birokrasi dengan mendapat pembenaran oleh para pakar yang ditunjuk oleh birokrasi tersebut.
6. Pasar kerja bagi lulusan sekolah labil, khususnya sekolah Menengah dan Kejuruan, sehingga setiap tahun angka pengangguran lulusan sekolah menengah terus bertambah.

Terlepas dari semua permasalahan pendidikan nasional tersebut tentunya kita sama-sama setuju bahwa guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan. Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen
pendidikan oleh pendidik (guru) terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Proses pendidikan melibatkan banyak hal, yaitu :
1) Subjek yang dibimbing (peserta didik).
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung
menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek
atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang
memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri)
secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai
sepanjang hidupnya.
2) Orang yang membimbing (pendidik).
Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan
pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya
dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan
yaitu orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, dan
masyarakat/organisasi.
3) Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar
peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian
tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif
dengan memanipulasikan isi, metod, serta alat-alat pendidikan.
4) Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).
Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya
abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas
sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus
berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu,
tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu.
5) Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).
Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam
kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini
meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang
mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal
misinya mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi
lingkungan.
6) Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode).
Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat
melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektivitasnya. Alat dan
metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan
sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan.
7) Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
Lingkungan pendidikan biasa disebut tri-pusat pendidikan yaitu keluarga,
sekolah, dan masyarakat. (Makagiansar, 1992 )
Profesionalisme guru, tentu harus terkait dan dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru, dengan demikian guru dapat menghadapi globalisasi. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat. Penilaia terhadap profesi guru tidak hanya sekedar pada aspek kualitas, administrasi dan manajemen saja, tetapi masalah guru lebih luas dan kompleks, menyangkut kemampuan profesional, personal, sosial termasuk perilaku dan kurangnya penghargaan yang layak terhadap profesi guru. Penilaian harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi pada bidang kependidikan. Efektivitas dan efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran guru.
Dalam era Globalisasi, profesionalisme guru dalam pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal seyogyanya dapat berperan sebagai :
1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber norma kedewasaan;
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta didik;
4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses interaksi dengan sasaran didik;
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral (kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gagne dan Berliner, mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik, yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana, di mana ia bertindak sebagai seorang sumber (resource person), konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik & humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan, menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk dapat bersaing dalam era reformasi sehingga pendidikan di Indonesia mampu bersaing dengan negara lain. Kemampuan seorang guru dalam melakukan proses pembelajaran antara lain adalah mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya (remedial teaching).
Menghadapi pesatnya persaingan pendidikan di era global ini, semua pihak perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk mengedepankan peningkatan mutu pendidikan. Pihak-pihak yang ikut meningkatkan mutu pendidikan adalah pemerintah, masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun meningkatkan prestasi yang telah diraih. Dari pihak yang disebutkan di atas, dalam pembahasan tulisan ini yang disoroti hanya masalah “guru”, sebab ”guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas ketidakberesan sistem pendidikan”. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa, “pada sisi lain guru juga menjadi sosok yang paling diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik” [Naniek Setijadi, From: http://tpj. bpk penabur. or.id/..., , akses, selasa, 26 April 2005, jam 10.15].
Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social inovator), dan agen masyarakat (social agent).
Lebih jauh, dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang harus diajarkannya;
4. Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta didik melaksanakan disiplin;
5. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6. Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7. Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat.
Di pandang dari segi diri-pribadinya (self oriented), seorang guru berperan sebagai :
1. Pekerja sosial (social worker), yaitu seorang yang harus memberikan pelayanan kepada masyarakat;
2. Pelajar dan ilmuwan, yaitu seorang yang harus senantiasa belajar secara terus menerus untuk mengembangkan penguasaan keilmuannya;
3. Orang tua, artinya guru adalah wakil orang tua peserta didik bagi setiap peserta didik di sekolah;
4. Model keteladanan, artinya guru adalah model perilaku yang harus dicontoh oleh para peserta didik; dan
5. Pemberi keselamatan bagi setiap peserta didik. Peserta didik diharapkan akan merasa aman berada dalam didikan gurunya.
Rendahnya kualitas tenaga kependidikan, khususnya guru pada era globalisasi saat ini merupakan masalaah pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Katakan saja sebagai contoh, motivasi menjadi tenaga pendidik [guru] di kebanyakan sekolah-sekolah selama ini dikarenakan dan hanya dilandasi oleh faktor pengabdian dan keikhlasan, sedangkan dari sisi kemampuan, kecakapan dan disiplin ilmu dikatakan masih rendah [baca, Hujair, 2003: 226]. Hal ini, menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan dan tentu mengalami kesulitan untuk memiliki keunggulan kompetitif. Maka, masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia pada dasarnya adalah masalah yang terkait dengan faktor kualitas tenaga guru [Asep Saeful Mimbar dan Agus Sulthonie, 25 Juli 2001]. Fazlur Rahman, menyatakan Indonesia, seperti halnya negera-negara berkembang lainnya, juga menghadapi masalah pokok dalam menghadapai globalisasi saat ini : yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan riset. Lanjut Fazlur Rahman, bagaimana memproduksi tenaga seperti itu [Fazlur Rahman,1985:151]. Pandangan ini, menjadi tantang dan persolan bagi pendidikan di Indonesia untuk berusaha membangun kualitas sumber dayanya.

Tuntutan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan profesional menjadi suatu keharusan pada era global, informasi dan reformasi pendidikan. Indikator perubahan sekarang yang dapat diamati adalah sebagian guru mulai melanjutkan pendidikannya kejenjang S-2, sekolah-sekolah mulai menerapkan KTSP dan sudah berbenah menuju ”manajemen berbasis sekolah” [MBS] yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah. Dengan demikian, ”sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan perioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat” [E. Mulyasa, 2002:24]. Maka, dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, menuntut sumber daya [pimpinan, guru, dan tenaga administrasi] yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan. Pelaksanaan program-program pendidikan didukung dengan kepemimpinan yang demokratis dan profesional, guru-guru yang profesional dan memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing, serta tenaga administrasi profesional dalam pengelolaan administrasi pendidikan [Hujair, 2003: 226]. Laporan Bank Dunia [1999], bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan [persekolahan] di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan [dalam Hujair, 2003:226].

Program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for trainers atau kemampuan untuk belajar terus menurut untuk meningkatkan kualitas bagi para pendidik [guru] merupakan suatu fokus dan tuntutan yang perlu diperhatikan. Dengan kata lain, lembaga-lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara periodik bagi para guru jika ingin tetap memimpin di dunia pendidikan, karena apabila gagal dalam investasi guru akan berakibat patal [Hujair, 2003: 227] dalam persaingan
merebut animo pengguna pendidikan sebagai pengakuan terhadap kualitas lembaga pendidikan tersebut. Sebagai contoh, indikator pengakuan terhadap kualitas dan kemampuan guru, bukan hanya datang dari jalur struktural/jabatan dan bukan juga dari jenjang karir fungsional seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar yang rigid, tetapi reward dan penghargaan yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan dan penghargaan yang diberikan langsung oleh masyarakat, karena kemampuan akademik dan profesionalisme guru [Onno W. Purbo,16 Mei 2002] itu sendiri. Untuk itu, semuanya akan dikembali kepada masyarakat profesional yang memiliki kompetensi serta kapasitas yang akan menilai kualitas dan kompetensi guru. Jika dilihat dari segi psikologis guru yang merasa dirinya mempunyai kompetensi yang tinggi akan merasa percaya diri menghadapi masyarakat.
Dari sudut pandang secara psikologis, guru berperan sebagai :
1. Pakar psikologi pendidikan, artinya guru merupakan seorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;
2. Seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia, khususnya dengan para peserta didik, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;
3. Pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu membentuk, menciptakan kelompok dan aktivitasnya sebagai cara untuk mencapai tujuan pendidikan;
4. Catalyc agent atau inovator, yaitu guru merupakan orang yang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan untuk membuat suatu hal yang baik; dan
5. Petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para peserta didik.
Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan Danim (2002) mengemukakan dua peran utama guru dalam pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar, pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain.
Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Dalam era global saat ini, jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk, sehingga dia tidak mampu bersaing secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung, sehingga diharapkan guru akan berperan lebih profesional sesuai dengan tugas dan kewajibannya sebagai salah satu penentu kehidupan bangsa yang akan datang dalam menghadapi globalisasi saat ini.

1 komentar:

Anto mengatakan...

good, maju terus guru indonesia!